Bicaraindonesia.id, Jakarta – Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) melalui Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan (BKPK) resmi merilis hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2024. Survei ini menjadi acuan utama dalam percepatan penurunan angka stunting di Indonesia.
Berdasarkan hasil SSGI 2024, prevalensi stunting nasional tercatat menurun dari 21,5 persen pada tahun 2023 menjadi 19,8 persen di tahun 2024. Penurunan ini menjadi capaian signifikan dalam upaya menekan angka stunting secara nasional.
Menteri Kesehatan RI, Budi Gunadi Sadikin, menegaskan komitmen pemerintah untuk mencapai target penurunan stunting hingga 14,2 persen pada 2029. Target tersebut sesuai dengan arah kebijakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang disusun bersama Sekretariat Wakil Presiden dan Bappenas.
“Target ini tidak mudah, tapi cukup menantang untuk dikejar. Dari angka 21,5% di 2023, kita harus turun ke 14,2% di 2029, artinya kita harus menurunkan sekitar 7,3% dalam lima tahun,” ujar Menkes Budi dalam rilis tertulisnya di Jakarta dikutip pada Selasa (27/5/2025).
Ia mengapresiasi kolaborasi lintas kementerian, lembaga, dan para pemangku kepentingan yang telah berkontribusi terhadap capaian positif tersebut.
“Target kita tahun lalu adalah 20,1%, dan alhamdulillah hasil survei menunjukkan 19,8%. Artinya, kita berhasil melampaui target sebesar 0,3%,” ungkapnya.
Meski demikian, tantangan ke depan masih besar. Pemerintah menargetkan prevalensi stunting turun menjadi 18,8 persen pada tahun 2025. Untuk mencapai target ini, diperlukan upaya lebih keras dan kerja sama lintas sektor, terutama di enam provinsi dengan jumlah balita stunting tertinggi.
Enam provinsi tersebut meliputi Jawa Barat (638.000 balita), Jawa Tengah (485.893 balita), Jawa Timur (430.780 balita), Sumatera Utara (316.456 balita), Nusa Tenggara Timur (214.143 balita), dan Banten (209.600 balita).
“Kalau enam provinsi ini bisa kita turunkan 10%, maka secara nasional kita bisa turun 4–5%. Karena 50% anak stunting ada di enam daerah ini,” tegas Menteri Budi.
Strategi penting yang ditekankan pemerintah adalah intervensi sejak masa pra-kelahiran. Fokus diberikan pada 11 intervensi spesifik di sektor kesehatan, terutama bagi remaja putri dan ibu hamil.
“Stunting itu terjadi bukan setelah lahir, tapi bahkan sejak dalam kandungan. Maka intervensi kepada ibu hamil sangat penting. Jangan sampai ibu-ibu hamil kekurangan gizi atau anemia,” jelasnya.
Menkes juga menyoroti pentingnya pengukuran lingkar lengan dan kadar hemoglobin (Hb) pada ibu hamil, serta distribusi tablet tambah darah dan suplementasi mikronutrien. Program penguatan Posyandu juga terus digalakkan melalui distribusi 300.000 alat antropometri.
Program lain seperti promosi ASI eksklusif, pemberian makanan tambahan (PMT), dan imunisasi turut mendukung penurunan angka stunting di berbagai daerah.
“Yuk, jangan lupa, tahun ini target kita 18,8%,” pungkasnya.
Sementara itu, Kepala BKPK Kemenkes RI, Prof. Asnawi Abdullah, menyatakan bahwa hasil SSGI 2024 mencatat penurunan prevalensi stunting menjadi 19,8 persen. Angka ini menjadi fondasi penting menuju target jangka panjang penurunan stunting nasional hingga 5 persen pada tahun 2045.
“Alhamdulillah, SSGI 2024 telah terlaksana dengan sangat baik dan menghasilkan data status gizi mulai dari tingkat nasional hingga kabupaten/kota. Ini menjadi fondasi penting untuk memperkuat kebijakan berbasis data,” ujar Prof. Asnawi.
Survei ini diperkirakan berhasil mencegah sekitar 337.000 balita dari risiko stunting, melebihi target tahunan RPJMN sebesar 325.000 balita. Namun, Prof. Asnawi juga mencatat adanya ketimpangan prevalensi antarwilayah dan kelompok sosial ekonomi.
“Prevalensi stunting sangat bervariasi. Misalnya, pada kelompok pendapatan sangat rendah, angkanya jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok pendapatan tinggi. Ini menjadi catatan penting untuk penajaman intervensi,” tambahnya.
SSGI 2024 dilaksanakan di seluruh 38 provinsi dan 514 kabupaten/kota dengan dukungan dari berbagai kementerian dan lembaga, pemerintah daerah, serta mitra pembangunan internasional seperti WHO, SEAMEO RECFON, dan Prospera.
Hasil lengkap SSGI 2024 telah tersedia dalam bentuk buku yang dapat diakses publik melalui laman resmi BKPK Kemenkes RI. Data terbuka ini menjadi bukti transparansi pemerintah serta komitmen dalam mengedepankan pemanfaatan data kesehatan.
“Tujuan utama diseminasi ini adalah agar data SSGI dimanfaatkan sebagai dasar perencanaan, evaluasi program, dan identifikasi wilayah prioritas. Semoga hasil ini semakin memperkuat intervensi yang berdampak nyata bagi bangsa,” tutup Prof. Asnawi. (*/Pr/A1)