BicaraIndonesia.id – Daun katuk (Sauropus androgynous) adalah tanaman yang banyak tumbuh di Indonesia dan negara-negara Asia tropis lainnya. Di Indonesia, daun ini sudah lama dikenal sebagai tanaman herbal dan bahan pangan yang kaya manfaat.
Daun katuk sering dimanfaatkan sebagai suplemen peningkat produksi ASI, bahan kosmetik, hingga pewarna makanan alami. Selain itu, daun ini juga kerap digunakan sebagai tanaman hias yang menghiasi pagar atau halaman rumah.
Tanaman katuk tumbuh optimal dalam kondisi iklim lembap dengan suhu ideal antara 21-32°C, kelembapan relatif 50-80%, dan curah hujan sekitar 750-2500 mm per tahun. Tanaman ini dapat berkurang pertumbuhannya di musim kemarau panjang, lebih dari enam bulan berturut-turut.
Di Indonesia, tanaman katuk mudah dijumpai mulai dari dataran rendah hingga ketinggian 1.300 meter di atas permukaan laut, seperti di wilayah Jawa Barat. Untuk perbanyakan tanaman, stek batang sering digunakan sebagai metode yang efektif.
Mengutip news.unair.ac.id, secara kimia, daun katuk mengandung lignan diglikosida, megastigmane glikosida, polifenol, dan flavonoid, yang semuanya berperan sebagai antioksidan kuat. Aktivitas antioksidan ini efektif mengatasi radikal bebas yang dapat menyebabkan berbagai penyakit.
Total fenol dalam katuk berkisar 1,52 mg GAE/100 g, sehingga dapat digunakan sebagai antioksidan alternatif. Penelitian menggunakan teknik DPPH dan ABTS membuktikan bahwa daun katuk memiliki kemampuan tinggi dalam menetralisir radikal bebas.
Selain itu, daun katuk memiliki khasiat anti-inflamasi, anti-bakteri, dan analgesik. Senyawa-senyawa seperti alkaloid, steroid, dan terpenoid dalam daun katuk diduga berkontribusi pada efek penghilang rasa sakit dan pengurang demam.
Senyawa-senyawa ini juga memiliki sifat antimikroba yang efektif melawan bakteri seperti Bacillus cereus, Staphylococcus aureus, dan Escherichia coli. Ekstrak daun katuk dalam pelarut metanol dan etanol diketahui dapat menghambat pertumbuhan bakteri-bakteri tersebut, sementara ekstrak air menunjukkan aktivitas sedang terhadap beberapa bakteri lainnya.
Sebagai galaktogog, daun katuk telah digunakan secara tradisional untuk membantu meningkatkan produksi ASI. Kandungan vitamin A yang bersumber dari karotenoid pada daun katuk mendukung sintesis retinol, yang berinteraksi dengan asam lemak dalam tubuh sehingga merangsang produksi hormon prolaktin. Proses ini membantu mempersiapkan kelenjar susu untuk menghasilkan ASI lebih banyak dan berkualitas.
Penelitian juga menunjukkan bahwa ekstrak air daun katuk dalam dosis tertentu mampu menurunkan kadar glukosa darah. Dalam uji pada hewan coba, dosis 250 mg/kgBB dari ekstrak etanol daun katuk terbukti dapat menurunkan kadar glukosa darah dan glikogen di hati.
Penurunan kadar kolesterol dan trigliserida juga tercatat pada penelitian serupa, menunjukkan potensi daun katuk sebagai pendukung pengobatan alami untuk kondisi metabolisme.
Selain itu, daun katuk mengandung sauroposida, alkaloid, flavonoid, terpenoid, dan sejumlah vitamin seperti karotenoid dan tokoferol yang bermanfaat untuk kesehatan.
Pengolahan daun katuk untuk pemanfaatan sederhana dapat dilakukan dengan merebus daun, bunga, atau bijinya dalam air untuk menghasilkan ekstrak.
Meskipun berbagai penelitian telah menunjukkan manfaat daun katuk, riset lebih lanjut diperlukan agar potensi farmasi dari tanaman ini dapat dikembangkan menjadi obat paten yang efektif sebagai terapi. (*/B1)