Bicaraindonesia.id – Rizka Raisah Fatimah Ramli adalah sosok perempuan kelahiran 22 Januari 2001 Makassar. Ia merupakan anak bungsu dari empat bersaudara. Sosok jelita ini lahir dari keluarga kelas menengah yang sangat mengutamakan pendidikan dan membaca.
Saat anak-anak, Rizka memumpuk keterampilannya menggambar melalui permainan video, buku komik, terutama komik Jepang dan film anime kesukaannya. Selain itu, ia juga terinspirasi buku-buku pinjaman dari perpustakaan di sekolah. Ia juga menjadi gemar menulis dan menunjukkan bakat di bidang ini.
Namun, menjelang lulus SD, Rizka menyadari bahwa menggambarlah yang merupakan sarana utamanya untuk mengekspresikan diri. Di sisi lain, ia juga merasakan ingin bercerita.
Ibu Rizka adalah Usmiati Usamah, ahli SDM yang sudah pensiun. Sedangkan ayahnya adalah Ramli Rajulang, pegawai BUMN yang sepanjang kariernya bekerja di PLN. Kedua orang tua Rizka tidak hanya menyadari bakat putri mereka sejak dini, namun juga mendorong Rizka untuk terus mengembangkannya.
Kedua orang tua Rizka juga melihat bahwa kesukaan putrinya menggambar menimbulkan kemandirian yang teguh dalam dirinya. Alih-alih “belajar” menggambar dari seorang guru, kesempatan yang beberapa kali ditawarkan kepada Rizka saat ia kecil. Rizka lebih suka menggambar mengikuti nalurinya, sesuai suasana hatinya.
“Saya tidak suka ‘diajar’ atau didikte dalam melakukan sesuatu. Saya ingin mengalami prosesnya, perjalanannya,” kata Rizka.
Saat menginjak kelas 3 SD, kala itu Rizka berusia sembilan tahun, ada peristiwa penting yang mempengaruhi perjalanannya menggambar. Pada suatu hari, Rizka yang tengah bersepeda sendirian di sekitar rumah mengalami serangan verbal oleh sekelompok anak dari lingkungan setempat. Kejadian ini menimbulkan trauma mendalam hingga Rizka, selama beberapa waktu, menolak keluar dari rumah.
Rizka semakin larut dalam dunia menggambar, dunia alternatif miliknya. Tanpa ia ketahui, pengalaman inilah yang memberikannya landasan dan kekuatan untuk mengubah seni menjadi perlawanan.
Rizka memasuki jenjang SMP pada 2012, suatu periode yang ia sebut sebagai periode ‘kelam’. Pada masa inilah Rizka semakin menyadari keberadaan perundungan dan kekerasan di sekolah. Ia melanjutkan ke jenjang SMA pada 2015, dan belajar di sekolah yang toleran, inklusif, dan bergengsi, tempat ibunya dahulu belajar pada sekitar 1970-an.
Pada Oktober 2018, UNICEF mengumumkan Kontes Internasional Komik Pahlawan Super Untuk Sekolah, yang dimaksudkan melawan perundungan dan kekerasan. Mengikuti bujukan ibunya, Rizka pun memutuskan ikut berkompetisi bersama tokoh pahlawan rekaannya yang lembut dan nomadik bernama Cipta. Rizka diumumkan sebagai pemenang kompetisi pada 10 Januari 2019. Ia baru saja berulang tahun ke-18.
Pada bulan April 2019, Rizka mulai bekerja sama dengan tim pembuat komik profesional di Amerika Serikat untuk memproduksi buku komik setebal 10 halaman berdasarkan konsepnya.
“Saya belajar banyak. Mereka menunjukkan tidak hanya cara mengkomunikasikan kekerasan dengan lebih halus, tetapi juga cara membuat plot, mengatur ritme cerita, dan membuat cerita yang lebih singkat tetapi padat,” paparnya.
Sekarang, Rizka yang telah lulus SMA dan punya banyak waktu luang. Ia berharap, dapat melanjutkan pendidikannya di ISI, institut seni terkemuka di Yogyakarta. Saat ini, ia senang bisa menyibukkan diri dengan mengerjakan pesanan gambar. “Saya jadi ada kegiatan sambil mengisi liburan,” ujarnya.
Tak lama lagi, ia juga akan diberangkatkan ke New York. Ia bersemangat menantikan perjalanan ini, dan berkesempatan menyajikan bukunya pada Forum Politik Tingkat Tinggi PBB, tentang Pembangunan Berkelanjutan.
“Kalau ada satu pesan yang bisa saya sampaikan kepada semua orang di sana, maka akan saya katakan bahwa sekolah harusnya menjadi tempat yang bebas kekerasan dan perundungan, bukan sebaliknya,” pungkasnya.