BicaraIndonesia.id, Surabaya – Pilkada 2024 di Indonesia menciptakan fenomena tersendiri dengan munculnya pasangan calon (paslon) tunggal, termasuk di Kota Surabaya, Jawa Timur.
Hal ini menjadi perhatian sebagian masyarakat yang menganggapnya sebagai situasi tidak demokratis.
Pengamat Politik dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, Andri Arianto mengungkapkan bahwa kecemasan masyarakat terhadap paslon tunggal adalah wajar.
“Masyarakat panik dan cemas karena hanya ada satu paslon dalam Pilkada. Mereka khawatir, bagaimana jika kotak kosong yang menang? Selain itu, ada yang menganggap kondisi ini tidak demokratis,” ujar Andri dalam keterangan tertulis di Surabaya, dikutip pada Rabu 4 September 2024.
Andri menjelaskan fenomena paslon tunggal tidak hanya terjadi di Kota Surabaya, tetapi juga di berbagai kabupaten di Jawa Timur dan daerah lain di Indonesia.
Ia mengemukakan bahwa berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), ada 43 kabupaten/kota yang hanya memiliki satu paslon setelah penutupan pendaftaran pada 29 Agustus 2024. Meskipun masa pendaftaran diperpanjang, potensi munculnya calon tunggal tetap ada.
Namun, Andri mencatat bahwa persentase paslon tunggal pada Pilkada 2024 sebenarnya mengalami penurunan dibandingkan dengan Pilkada 2020.
“Pada tahun 2020, ada 25 paslon tunggal dari 270 daerah, dengan persentase 9,26 persen. Sementara pada tahun 2024, ada 43 paslon tunggal dari 545 daerah, atau sekitar 7,8 persen. Ini sebenarnya penurunan,” jelasnya.
Penurunan ini dinilai Andri sebagai sesuatu yang positif. Meski begitu, ia menekankan bahwa keberadaan paslon tunggal masih belum bisa dihindari. “Artinya, persentase semakin menurun dari tahun ke tahun,” tambahnya.
Andri mengaitkan kecemasan masyarakat dengan pengalaman Pilkada sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 tentang Ambang Batas Pencalonan Kepala Daerah, yang mengatur syarat minimum dukungan untuk calon. Setelah putusan tersebut, persentase paslon tunggal justru menurun.
Ia mencontohkan fenomena ini seperti yang terjadi di Surabaya, dimana hanya ada satu Paslon, yakni Eri Cahyadi-Armuji. Menurut Andri, masyarakat tidak perlu khawatir berlebihan karena fenomena ini umum terjadi di Indonesia.
“Masyarakat tidak seharusnya berprasangka buruk terhadap fenomena ini dengan alasan tidak demokratis,” jelasnya.
Andri juga menilai Paslon Eri-Armuji memiliki potensi elektabilitas tinggi karena kinerja positif mereka selama menjabat, seperti keberhasilan menurunkan angka kemiskinan dan menangani pandemi Covid-19.
“Dengan potensi elektabilitas yang tinggi, penantang tentu akan berpikir dua kali untuk melawan petahana Eri-Armuji,” tambahnya.
Andri juga menyoroti bahwa hampir semua partai politik bergabung dalam koalisi mendukung Eri-Armuji. “Koalisi dalam Pilkada tidak bisa disamakan dengan Pemilihan Presiden karena penguasaan legislatif berbeda di setiap daerah,” ujarnya.
Ia juga menegaskan pentingnya komunikasi politik yang baik, yang telah dibangun oleh Eri-Armuji dengan berbagai kelompok penting di Surabaya.
“Kinerja yang baik, tidak korupsi, dan pelayanan publik yang maksimal, turut memperkuat posisi mereka,” lanjut Andri.
Untuk itu, Andri mengingatkan masyarakat bahwa jika kotak kosong menang, wali kota akan dijabat oleh Penjabat (Pj) yang ditunjuk oleh pemerintah pusat atau provinsi. “Hal ini justru tidak demokratis karena masyarakat tidak tahu siapa penjabatnya,” tegasnya.
Untuk itu, Andri menekankan pentingnya masyarakat memahami bahaya memilih kotak kosong. “Mendorong masyarakat memilih kotak kosong adalah sesat pikir. Jika itu terjadi, masyarakat akan dirugikan,” jelasnya.
Secara keseluruhan, Andri menyimpulkan bahwa fenomena paslon tunggal dalam Pilkada bukanlah sesuatu yang harus ditakuti.
“Lebih tidak demokratis jika ada gerakan yang diarahkan memilih kotak kosong,” tutupnya. ***
Editorial: C1