BicaraIndonesia.id, Surabaya – Pembongkaran bangunan di Jalan Raya Darmo No. 30 Surabaya yang ramai diberitakan sebagai cagar budaya, mendapat tanggapan dari Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Surabaya.
Ketua TACB Kota Surabaya, Dr. Ir. R.A. Retno Hastijanti, M.T, menegaskan, bahwa gedung tersebut tidak termasuk dalam daftar bangunan cagar budaya resmi milik Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. Sebab, Izin Mendirikan Bangunan (IMB) gedung tersebut terbit sebelum ada Surat Keputusan (SK) Walikota mengenai cagar budaya.
“Gedung di Jalan Darmo Surabaya Nomor 30 itu terbit IMB-nya tahun 1989, jauh sebelum ada kebijakan wali kota menerbitkan SK Wali Kota tahun 1998 terkait kawasan cagar budaya serta gedung cagar budaya,” ujar Retno Hastijanti, melalui keterangan tertulis yang diterima pada Selasa (3/6/2025).
Dosen Arsitektur Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya ini juga menjelaskan bahwa pembangunan atau perbaikan gedung tersebut baru dilakukan tahun 1989, dan tidak tercatat sebagai bangunan cagar budaya.
“Bangunan yang ternyata baru dikerjakan perbaikannya tahun 1989 itu pun tidak masuk di dalam list bangunan cagar budaya,” ungkap Hasti.
Selain itu, Hasti juga menuturkan bahwa penetapan kawasan dan bangunan cagar budaya di Kota Surabaya, mulai diperkuat dengan terbitnya SK Wali Kota tahun 1998, dan selanjutnya diperkuat dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda) Cagar Budaya pada tahun 2005.
“Alhamdulillah, SK Wali Kota tersebut diperkuat menjadi Perda Cagar Budaya untuk yang pertama kali terbit yaitu baru tahun 2005. Dan semenjak itu, Pemkot Surabaya makin fokus menjaga kawasan dan gedung-gedung cagar budaya,” tuturnya.
Menurut Hasti, pengelolaan kawasan cagar budaya bersifat partisipatif. Hal ini terutama berlaku bagi bangunan yang berada di kawasan cagar budaya namun tidak ditetapkan secara khusus sebagai bangunan cagar budaya.
“Bagi bangunan seperti di kawasan cagar budaya, kesertaan mereka (pemilik) dalam menjaga kawasan cagar budaya bersifat partisipatif, karena pemilik gedung tidak mendapatkan insentif dari pemerintah kota. Namun dengan tetap dikawal dalam koridor peraturan, mereka tetap memiliki hak yang harus dipertimbangkan oleh TACB untuk pengelolaan gedung yang dimilikinya,” katanya.
Hasti juga menjelaskan bahwa setelah suatu kawasan ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya, pemerintah memiliki kewajiban untuk menjaga dan merevitalisasi suasana kawasan tersebut agar tetap mencerminkan nuansa tempo dulu.
“Terkait kewajiban pemkot setelah penetapan suatu kawasan menjadi kawasan Cagar Budaya adalah menjaga dan merevitalisasi lagi suasana kawasan sehingga terasa seperti zaman dulu,” jelasnya.
Ia mencontohkan kawasan pecinan di Jalan Kembang Jepun yang saat ini tengah dirawat Pemkot Surabaya dengan berbagai elemen khas. Seperti di antaranya, Penerangan Jalan Umum (PJU) bernuansa pecinan hingga papan iklan berbahasa Cina.
“Misalkan kawasan Pecinan dirawat dengan membuat PJU bernuansa Cina, membuat model-model advertising dengan Bahasa Cina dan sebagainya. Di kawasan Jalan Darmo pun begitu, pemkot sudah merawat boulevard dan tetap menjaga tata atur kawasan agar tetap orisinal, itu lebih penting,” tutupnya. (*/Pr/An/C1)