BicaraIndonesia.id, Surabaya – Surabaya kembali menjadi pusat kolaborasi ilmiah internasional dengan menjadi tuan rumah Humboldt Kolleg – Translate Southeast Asia 2024 yang berlangsung pada 18-21 September lalu.
Acara ini mempertemukan 85 ilmuwan dunia untuk mencari solusi inovatif dalam menghadapi krisis iklim global yang kian memburuk.
Leenawaty Limantara, PIC acara dari Petra Christian University (PCU) mengungkapkan bahwa pertemuan ini adalah wadah kolaborasi bagi para ilmuwan dari Asia Tenggara, Jerman, hingga peneliti muda.
“Humboldt Kolleg merupakan sebuah acara atau program yang diselenggarakan oleh alumni dari Alexander von Humboldt Foundation (AvH), sebuah yayasan di Jerman yang mendukung kerja sama internasional dalam bidang penelitian,” kata Leenawaty dalam siaran tertulisnya dikutip pada Kamis, 10 Oktober 2024.
“Acara ini biasanya melibatkan para ilmuwan, peneliti, dan akademisi dari berbagai negara, khususnya alumni AvH,” tambahnya.
Sebagai kawasan yang rawan bencana alam, Asia Tenggara menghadapi berbagai tantangan lingkungan, termasuk kenaikan suhu ekstrem dan hilangnya keanekaragaman hayati.
Lokasi geografis serta ketergantungan pada sektor pertanian memperparah dampak krisis iklim di kawasan ini.
Salah satu topik utama dalam acara yang diadakan di Swiss-Belinn Manyar adalah praktik keberlanjutan inovatif dan transisi menuju ekonomi sirkular.
Tujuannya adalah meminimalkan limbah, memaksimalkan efisiensi sumber daya, dan mengurangi jejak lingkungan dari aktivitas manusia.
Pembahasan juga mencakup investasi energi terbarukan dan teknologi penyerapan karbon. Energi surya, angin, dan biomassa diusulkan sebagai alternatif energi fosil, sementara reforestasi dan teknologi penangkapan emisi karbon menjadi bagian penting dalam strategi pengelolaan karbon.
Humboldt Kolleg 2024 dibuka oleh Duta Besar Jerman untuk Indonesia, Ina Lepel. Para pakar Jerman seperti Markus Egerman dari Leibniz Institute, Peter von Philipsborn dari LMU München, dan Heike Grimm dari Willy Brandt School turut serta berbagi pandangan terkait transformasi sosial dan penanganan krisis iklim.
Beberapa peneliti dari PCU juga berperan aktif sebagai pembicara, termasuk Renny Indrawati, Cilcia Kusumastuti, dan Gunawan Tanuwidjaja.
Mereka mempresentasikan penelitian tentang efisiensi energi, pengelolaan limbah hijau, dan desa ekologi, yang mendukung Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) PBB.
Penggunaan bahan inovatif seperti bambu untuk mengurangi jejak karbon dan limbah serta desain pencahayaan alami menjadi topik yang menarik perhatian. Rekomendasi dari pertemuan ini menawarkan kerangka kerja konkret untuk mendukung pembangunan berkelanjutan di Asia Tenggara.
Menurut Leenawaty, kolaborasi internasional dalam penelitian, program pertukaran, dan proyek pengembangan bersama sangat penting untuk menghadapi tantangan krisis iklim.
“Dengan begitu, Asia Tenggara dapat memanfaatkan keahlian global melalui kolaborasi penelitian, program pertukaran pendidikan, dan proyek-proyek pengembangan bersama. Kegiatan ini terjadi berkat kolaborasi antara PCU, UC, dan UKWMS,” tutup dia. (SP/B1)