Bicaraindonesia.id – Rumah panggung pada umumnya mempunyai beberapa tiang pondasi untuk menopang badan bangunan. Namun, rumah panggung yang satu ini memiiki “kaki seribu”. Itulah rumah adat khas suku Arfak di Kabupaten Manokwari, Papua Barat.
Rumah “kaki seribu” dalam bahasa setempat disebut Mod Aki Aksa atau Igkojei. Namun, pada umumnya masyarakat lebih mengenalnya dengan sebutan “rumah kaki seribu.”
Mengapa disebut demikian, karena rumah ini memiliki banyak sekali tiang pondasi yang tersebar di seluruh bagian bawah rumah dan menjadi tumpuan utama bangunan. Karena keunikannya, rumah adat tersebut mendapat julukan “rumah kaki seribu.”
Mod aki aksa merupakan bentuk adaptasi orang Arfak terhadap lingkungan geografis, khususnya pegunungan Arfak. Pengunungan ini diketahui memiliki hutan lebat dengan arus sungai yang deras.
“Jadi bisa dibilang penyebaran suku Arfak di kawasan pegunungan tersebut turut memengaruhi model bangunan masyarakat setempat. Dan tanpa disadari terciptalah rumah kaki seribu ini,” kata Paulus Waterpauw, salah satu tokoh adat Suku Arfak.
Untuk dinding-dinding, rumah kaki seribu terbuat dari kulit pohon butska. Sementara atapnya terbuat dari daun pandan, sedangkan lantainya dari belahan nibung atau bambu yang ditutup dengan anyaman rotan sebagai alasnya.
Melalui celah-celah di lantai, udara segar bisa masuk ke dalam rumah itu. Sedangkan kolong rumah yang luas biasanya digunakan untuk menyimpan kayu bakar dan juga sebagai kandang ternak.
Ciri khas rumah kaki seribu adalah rumah ini hanya memiliki dua pintu, depan dan belakang serta tanpa jendela. Dalam satu rumah kaki seribu biasanya terdapat beberapa kamar. Kamar untuk wanita (meraja) dan kamar untuk pria (meiges) serta sebuah ruang dengan suatu tempat khusus untuk upacara dan pesta adat.
Luas rumah ini kurang lebih 8×6 meter dengan tinggi 4 hingga 5 meter. Selain digunakan untuk berlindung oleh suku Arfak, rumah kaki seribu juga sering digunakan untuk mendidik anak dan kegiatan pesta adat.
Tingginya rumah, banyaknya tiang pondasi, dan desain yang relatif tertutup ternyata dimaksudkan untuk menghindarkan penghuni rumah dari hewan buas dan udara dingin serta bencana alam seperti badai. Terlebih dari itu, kondisi masyarakat yang sering bertikai pun menjadi alasan bentuk rumah kaki seribu yang tampak tidak lazim ini.
“Maksudnya adalah agar mereka yang tinggal di rumah ini tetap aman dari ancaman musuh dengan pengawasan yang mudah karena rumah berada di tempat tinggi dan hanya memiliki 2 pintu sebagai akses masuk dan keluar,” jelas Paulus.
Seiring berkembanganya modernisasi dan adanya para transmigran dari provinsi lain yang banyak berdatangan ke daerah Papua Barat, saat ini rumah kaki seribu sudah jarang sekali ditemukan di kota-kota besar.
Masyarakat yang masih menggunakan rumah unik ini sebagai tempat tinggal adalah penduduk asli Arfak dan biasanya lokasinya pun berada jauh di pedalaman, terutama di bagian tengah sekitar pegunungan Arfak.
“Memang sulit menghindar dari modernisasi, namun tradisi rumah kaki seribu layak dan harus dilestarikan. Hal ini penting karena tardisi ini memiliki nilai-nilai positif kehidupan yang baik untuk dipelajari oleh generasi masa depan,” kata Paulus.