Bicaraindonesia.id, Tangerang Selatan – Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mendorong pemanfaatan teknologi iradiasi sebagai langkah strategis untuk meningkatkan daya saing ekspor produk pertanian Indonesia.
Teknologi ini dianggap efektif memperpanjang masa simpan produk segar, menjaga mutu selama distribusi, serta memenuhi standar keamanan pangan internasional.
Namun demikian, pemanfaatan teknologi iradiasi masih menghadapi berbagai tantangan. Di antaranya adalah keterbatasan infrastruktur, belum optimalnya regulasi, dan kurangnya pemahaman dari pelaku usaha serta masyarakat terhadap manfaat teknologi ini.
Sebagai bentuk edukasi dan penguatan pemahaman, Organisasi Riset Tenaga Nuklir (ORTN) BRIN menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertema “Aplikasi Iradiasi Pangan untuk Mendukung Ekspor Produk Pertanian Indonesia”.
FGD ini diselenggarakan di Auditorium Gedung 720, Kawasan Sains dan Teknologi (KST) B.J. Habibie, Serpong, Tangerang Selatan, Selasa (29/7/2025).
Deputi Bidang Pemanfaatan Riset dan Inovasi BRIN, R. Hendrian, menyatakan bahwa penyelenggaraan FGD ini merupakan bentuk kontribusi BRIN dalam memperkuat perekonomian nasional berbasis riset dan inovasi, khususnya untuk mendukung peningkatan ekspor sektor pertanian.
Menurut Hendrian, peningkatan pemahaman terhadap teknologi iradiasi mencakup identifikasi peluang dan tantangan ekspor, kesiapan infrastruktur, regulasi yang mendukung, serta riset yang relevan dengan kebutuhan industri.
“Diperlukan pula penguatan kolaborasi antara pemerintah, industri, dan peneliti untuk mendorong penerapan teknologi iradiasi secara efektif dan berkelanjutan,” jelas Hendrian seperti dikutip dari situs resmi BRIN, Sabtu (2/8/2025).
Hal senada disampaikan Anggota Dewan Pengarah BRIN, Tri Mumpuni. Ia menekankan pentingnya teknologi iradiasi dalam mendukung keberhasilan ekspor dan menjamin keamanan pangan.
Menurutnya, Indonesia memiliki potensi besar dari produk seperti avokad lokal yang berkualitas, namun sering kali rusak sebelum sampai ke konsumen karena belum tersentuh teknologi seperti iradiasi.
“Hal ini (teknologi iradiasi) harus kita angkat, karena menjadi salah satu fondasi yang sangat kuat dalam mewujudkan kedaulatan pangan, pertahanan pangan, dan peningkatan ekspor,” kata Tri.
“Secara kebijakan, BRIN juga memiliki tanggung jawab moral untuk mendorong pemanfaatan teknologi ini. Bersama Deputi Bidang Pemanfaatan Riset dan Inovasi BRIN, akan kita bahas bersama dewan pengarah BRIN,” tambahnya.
Sementara itu, Kepala ORTN BRIN, Syaiful Bakhri, mengungkapkan bahwa riset memegang peran penting dalam pengembangan teknologi iradiasi dan akselerator.
Saat ini, ekspor produk hasil iradiasi masih sekitar 26% untuk pangan, sedangkan sisanya untuk alat kesehatan seperti jarum suntik, sarung tangan, dan peralatan bedah.
Ia menjelaskan bahwa BRIN telah mengembangkan basis data mengenai dosis dan proses iradiasi untuk mendukung pelaku industri. Data tersebut juga mencakup tata cara penanganan produk seperti buah mangga dan buah naga.
Produk yang telah melalui proses iradiasi diberi label radura, yang menandakan keamanan dan masa simpan yang lebih lama tanpa mengurangi mutu konsumsi.
Syaiful juga menjelaskan mengenai fasilitas Irradiator Gamma Merah Putih (IGMP) di Serpong yang digunakan untuk iradiasi sampel.
Ia berharap kehadiran fasilitas ini bisa menjadi pemicu berkembangnya industri pangan yang memenuhi standar ekspor internasional.
Sebagai diketahui, FGD ini turut menghadirkan sejumlah narasumber internasional. Salah satunya adalah Andrew Jessup, pakar entomologi yang pernah bertugas di pemerintah Australia dan Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA). (*/Pr/B1)