Bicaraindonesia.id, Surabaya – Kepolisian Daerah Jawa Timur (Polda Jatim) berhasil membongkar sindikat kejahatan siber yang menggunakan teknologi deepfake untuk melakukan penipuan terhadap masyarakat.
Modus operandi sindikat ini adalah dengan mengatasnamakan sejumlah kepala daerah di Indonesia melalui video manipulatif.
Dalam operasi pengungkapan kasus kejahatan siber ini, tiga orang pelaku berhasil diamankan oleh kepolisian. Ketiga tersangka yang ditangkap tersebut adalah HMP (32), AH (34), dan UP (24), yang semuanya merupakan warga Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat.
Kapolda Jawa Timur, Irjen Pol Nanang Avianto, menjelaskan bahwa pengungkapan kasus ini bermula dari adanya laporan masyarakat. Warga mencurigai video pernyataan palsu yang mengatasnamakan Gubernur Jawa Timur, Gubernur Jawa Tengah, hingga Gubernur Jawa Barat.
“Perubahan dilakukan dengan memanfaatkan teknologi deepfake, sehingga aktivitas dalam video seolah-olah menunjukkan pernyataan dari pejabat daerah,” kata Irjen Nanang dalam konferensi pers di Ruang Rupatama Mapolda Jatim, Senin (28/4/2025).
Menurut Irjen Nanang, para pelaku tidak hanya melakukan manipulasi pada gambar, tetapi juga pada suara, sehingga video deepfake tersebut tampak sangat meyakinkan bagi calon korban.
Video palsu itu kemudian disebarkan dan digunakan untuk menipu korban. Pelaku mengiming-imingi korban dengan hadiah atau penawaran kendaraan bermotor berharga murah, lalu meminta korban untuk mentransfer sejumlah uang ke rekening yang sudah disiapkan.
“Penggunaan teknologi seperti ini sangat berbahaya. Ini menyerang kepercayaan publik terhadap pejabat negara dan dapat menyebabkan keresahan di masyarakat,” tegasnya.
Kapolda Jatim menegaskan bahwa pihaknya akan menindak tegas kejahatan siber serupa. Ia juga mengimbau masyarakat untuk selalu melakukan verifikasi terhadap kebenaran informasi sebelum mengambil tindakan apapun di dunia maya, terutama yang berkaitan dengan tawaran menggiurkan atau permintaan transfer dana.
“Penyalahgunaan teknologi untuk menipu seperti ini tidak bisa ditoleransi. Kami akan terus memburu pelaku kejahatan digital demi menjaga ketertiban umum,” imbuh Irjen Nanang.

Di waktu yang sama, Direktur Reserse Siber (Dirressiber) Polda Jatim, Kombes Pol R. Bagoes Wibisono, mengungkapkan modus operandi yang digunakan para pelaku penipuan deepfake ini.
Modus operandinya adalah dengan membuat video manipulatif menggunakan suara yang dibuat mirip dengan suara pejabat asli.
“Video deepfake tersebut kemudian diunggah ke platform media sosial populer seperti TikTok dan Facebook untuk menjaring korban. Korban yang tertarik kemudian diarahkan untuk menghubungi akun WhatsApp yang dikelola oleh sindikat tersebut,” jelas dia.
Ketiga tersangka ini memiliki peran yang berbeda. Tersangka pertama adalah HMP (32). Ia berperan membuat akun TikTok serta memanipulasi video menggunakan teknologi deepfake, sebelum menyerahkan video tersebut kepada tersangka UP. Selain itu, HMP juga menyediakan rekening bank untuk menampung uang hasil penipuan.
Kemudian tersangka kedua adalah UP (24). UP berperan mengunggah video deepfake yang telah dibuat oleh HMP ke akun TikTok yang telah disiapkan.
Sementara tersangka ketiga adalah AH (34), berperan sebagai operator admin WhatsApp. Tugasnya adalah mengelabui korban agar bersedia melakukan transfer dana ke rekening bank yang telah disediakan oleh HMP.
Dalam kurun waktu tiga bulan beroperasi, sindikat penipuan deepfake ini berhasil menipu korban yang tersebar di berbagai wilayah, termasuk Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Maluku Utara.
Total kerugian yang dialami para korban diperkirakan mencapai Rp 87,6 juta. Hingga saat ini, polisi telah memeriksa setidaknya 24 orang korban.
Dari tangan para pelaku, polisi menyita sejumlah barang bukti, meliputi satu unit handphone, akun Facebook, akun Gmail, video manipulatif (deepfake), hingga uang tunai sisa hasil kejahatan sebesar Rp 43,792 juta.
Para pelaku kini dijerat dengan pasal berlapis, yaitu Pasal 35 juncto Pasal 51 ayat (1), serta Pasal 45A ayat (1) juncto Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2016. Atas perbuatannya, para tersangka terancam hukuman maksimal 12 tahun penjara. ***
Laporan: Ariandi K
Editorial: A1