BicaraIndonesia.id, Paris – CEO sekaligus pendiri aplikasi chat Telegram, Pavel Durov, dilaporkan ditangkap oleh polisi Prancis di Bandara Le Bourget, yang terletak di utara Paris, pada Sabtu malam, 24 Agustus 2024 waktu setempat.
Melansir France24 dalam laporannya menerangkan, bahwa miliader berusia 39 tahun berdarah Prancis-Rusia itu akan dihadapkan ke pengadilan pada hari Minggu mendatang, menurut sumber yang berbicara kepada AFP dengan syarat anonim.
Media Prancis melaporkan bahwa Durov tiba di Prancis dari Baku, Azerbaijan. Penangkapan tersebut dilakukan berdasarkan surat perintah yang dikeluarkan Kantor Prancis untuk Pencegahan Kekerasan terhadap Anak (OFMIN).
Penyelidikan awal menuduh Durov terlibat dalam sejumlah pelanggaran, termasuk penipuan, perdagangan narkoba, perundungan siber, kejahatan terorganisir, dan promosi terorisme.
Durov dituduh gagal mengambil tindakan untuk mengendalikan penggunaan platformnya yang berkaitan dengan aktivitas kriminal.
“Sudah cukup dengan impunitas Telegram,” kata salah satu penyelidik, yang juga terkejut bahwa Durov datang ke Paris meskipun dia adalah buronan, sebagaimana dikutip pada Minggu 25 Agustus 2024.
Telegram, yang berbasis di Dubai, dikenal sebagai alternatif platform milik AS yang sering dikritik karena eksploitasi komersial data pribadi penggunanya. Telegram berkomitmen untuk tidak pernah mengungkapkan informasi penggunanya.
Dalam sebuah wawancara dengan pembawa acara sayap kanan Tucker Carlson pada bulan April, Durov mengungkapkan bahwa ide untuk meluncurkan aplikasi pesan terenkripsi muncul setelah dia mendapat tekanan dari pemerintah Rusia saat bekerja di VK, sebuah jaringan sosial yang dia ciptakan sebelum menjualnya dan meninggalkan Rusia pada 2014.
Durov mengatakan dia mencoba menetap di Berlin, London, Singapura, dan San Francisco sebelum akhirnya memilih Dubai, yang dia puji karena lingkungan bisnisnya dan netralitasnya.
Orang-orang “menyukai kemandirian, mereka juga menyukai privasi, kebebasan, (ada) banyak alasan mengapa seseorang akan beralih ke Telegram,” kata Durov kepada Carlson.
Saat itu, Durov menyebut bahwa Telegram memiliki lebih dari 900 juta pengguna aktif.
Dengan berbasis di Uni Emirat Arab (UEA), Telegram berhasil melindungi dirinya dari undang-undang moderasi yang semakin ketat. Terutama di negara-negara Barat yang terus menekan platform besar untuk menghapus konten ilegal.
Telegram memungkinkan grup dengan anggota hingga 200.000 orang, yang memicu tuduhan bahwa platform ini mempermudah penyebaran informasi palsu secara viral, serta penyebaran konten neo-Nazi, pedofilia, teori konspirasi, dan terorisme.
Sebagai perbandingan, layanan pesan saingan, WhatsApp, memperkenalkan batasan dalam penyebaran pesan secara global pada tahun 2019 setelah dituduh memungkinkan penyebaran informasi palsu di India yang menyebabkan insiden kekerasan. ***
Editorial: A1