BicaraIndonesia.id, Jakarta – Presiden Prabowo Subianto menerima Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (17/2/2025).
Pertemuan tersebut membahas berbagai isu strategis di bidang pertanahan dan tata ruang, termasuk penyelesaian sengketa tanah serta dugaan penyalahgunaan sertifikat di wilayah pesisir.
Nusron menyampaikan bahwa ia melaporkan kepada Presiden Prabowo mengenai perkembangan terbaru dalam proses pemberian hak atas tanah. Khususnya hak guna usaha (HGU) untuk perkebunan kelapa sawit.
“Laporan biasa dari seorang pembantu Presiden kepada Bapak Presiden mengenai beberapa hal yang berkaitan dengan dunia pertanahan dan dunia tata ruang, terutama yang berkaitan dengan proses perkembangan tata cara pemberian hak atas tanah, terutama hak guna usaha untuk perkebunan kelapa sawit di Indonesia,” ujar Nusron dalam keterangannya kepada awak media usai pertemuan.
Salah satu isu utama yang dibahas adalah kasus dugaan penyalahgunaan sertifikat tanah di wilayah Bekasi dan Tangerang, yang terkait dengan praktik ilegal yang dikenal sebagai “pagar laut.”
Nusron menegaskan bahwa seluruh data mengenai kasus tersebut telah diserahkan, dan proses investigasi telah dilakukan secara menyeluruh.
“Sudah kita serahkan semua data-datanya baik yang di Tangerang maupun Bekasi. Yang Bekasi pun proses investigasi terhadap aparat kita juga sudah selesai. Mungkin besok atau lusa saya umumkan ada beberapa orang yang akan diberhentikan juga yang di Bekasi,” ungkapnya.
Di Tangerang, Nusron mengungkapkan bahwa sebanyak 193 sertifikat yang terbit di atas laut telah dibatalkan secara sukarela oleh pemiliknya.
Sementara itu, modus operandi dalam kasus pemindahan peta bidang tanah ke laut dilakukan oleh oknum di tingkat bawah.
“Modusnya ada orang ada sertifikat jumlahnya 89 sertifikat, dimiliki 84 orang, jumlahnya 11,6 hektare. Nah ini NIB (Nomor Induk Bidang)-nya dipakai dipindah ke laut jumlahnya 79 hektare, dari 11,6 pindah ke laut yang luasnya 79,6 hektare. Yang semula pemiliknya ada 84 pemilik menjadi 11 pemilik yang salah satu di antara pemiliknya itu adalah oknum kepala desa sekitar,” jelasnya.
Selain kasus pagar laut, pertemuan juga menyoroti permasalahan tumpang tindih kepemilikan sertifikat hak milik (SHM) yang kerap terjadi akibat kesalahan administrasi pertanahan di masa lalu.
Nusron mengungkapkan bahwa banyak sertifikat yang terbit pada periode 1960-1987 tidak memiliki peta bidang tanah yang jelas, sehingga menimbulkan sengketa di kemudian hari.
“Karena memang problemnya itu di tahun 1960-1987 ini banyak sekali ada sertifikat tidak ada peta bidang tanahnya, yang ada hanya gambar tanah tapi tidak jelas alamatnya di mana,” katanya.
Editorial: A1
Source: BPMI Setpres