Ilustrasi /net
Bicaraindonesia.id – Jejak digital tengah menjadi bahan perbincangan yang hangat di kalangan netizen dalam beberapa waktu belakangan.
Rekam jejak seseorang saat menggunakan internet atau melalui unggahan di media sosial hingga riwayat penelusuran (history) di website bahkan bisa menjadi ‘pisau bermata dua’.
Pengamat teknologi informatika Vaksincom, Alfons Tanujaya mengatakan, bahwa jejak digital seseorang akan bertambah banyak jika ia aktif menggunakan internet. Perbedaan karakter komunikasi digital dan komunikasi sehari-hari membuat jejak digital tercatat sangat mendetail.
“Komunikasi digital tercatat sangat detail dan sekali suatu hal tampil di internet, maka ‘dapat dikatakan’ itu akan ada di internet selamanya,” jelas Alfons seperti dilansir dari dreamers.
Di satu sisi, jejak digital bisa memberikan pengaruh positif dengan catatan aktivitas yang teliti dan mendetail. Bahkan ketika pemilik sudah menghapusnya, konten yang pernah diunggah melalui media sosial atau situs internet akan tetap ada.
Di samping bisa memberikan efek positif, jejak digital juga bisa membawa pengaruh negatif lantaran bisa diambil dan diedit hingga bebas dimanipulasi oleh pengguna internet lainnya.
“Secara teknis aktivitas digital seperti di medsos itu sekali kita unggah hanya muncul di server pengelola medsos. Tapi sekali muncul dan dilihat orang, itu artinya sudah tersebar ke seluruh dunia,” imbuhnya.
Alfons menegaskan, jika secara teknis semua konten yang pernah diunggah ke jagat internet tidak bisa dihapus. Bahkan kalaupun bisa dan operator berkenan menghapus satu konten, namun pemilik konten tidak bisa mengontrol komputer di luar server operator yang hampir tidak mungkin dihapus.
“Sebagai gambaran, kalau seseorang menampilkan gambar seronok dirinya di medsos dan kemudian dia berubah pikiran untuk menarik gambar tersebut. Gambar tersebut bisa ditarik dari akunnya saja, tetapi di komputer lain yang sudah tampil gambar tersebut akan tersimpan dan tidak ada akses untuk menghapus gambar tersebut,” jelasnya.
Untuk itu ia mengimbau pengguna internet untuk berhati-hati menampilkan sesuatu di media sosial dan internet. Mengingat konten apapun akan selalu ada dan tercatat tanpa bisa dihapus begitu saja.
‘Jarimu Harimaumu’, Ironi Keterbukaan di Media Sosial
Dulu ada peribahasa ‘Mulutmu Harimaumu’. Namun, di era digital seperti sekarang ini, peribahasa tersebut mungkin bermetamorfosa menjadi ‘Jarimu Harimaumu’.
Peribahasa ini ada benarnya mengingat banyak masyarakat yang terjerat masalah hukum karena cuitan yang tidak mengedepankan etika bersosial media.
Media sosial telah memberikan perubahan luar biasa pada perilaku masyarakat. Sekali klik, informasi itu langsung tersebar bebas tanpa kendali. Apa pun bisa dilakukan hanya dengan satu-dua jari.
Namun, sayangnya, kebebasan itu sering kali digunakan secara tidak bertanggung jawab oleh sebagian besar orang. Akibatnya, terjadilah ironi keterbukaan. Kebebasan yang disalahgunakan akan menjadi “bom waktu” bagi peradaban di Bumi Indonesia.
Setiap orang bebas bicara, mencela, memfitnah, membuat berita palsu, menuduh, bahkan mengadu domba satu dengan lainnya. Akibatnya, teman menjadi lawan dan lawan pun malah menjadi teman.
Etika kesopanan dan kesantunan menulis status tidak ada lagi. Murid menantang guru berdebat, santri mengolok-olok kiai, ulama dirusak, anak dan orang tua tak lagi saling hormat, dan masih banyak lagi akibat ironi keterbukaan ini.
Karena itu, bagi para netizen, kendalikan jarimu untuk hal-hal yang bermutu. Bagi netizen, ayo lawan segala keburukan di media sosial dengan gerakan menebar kebaikan. Mulailah dari diri sendiri, teman, keluarga, tetangga, desa, dan terus kita kawal sampai bangsa ini menjadi lebih baik. Karena, kata-katamu mencerminkan siapa sebenarnya dirimu.
Tak perlu psikotes macam-macam untuk tahu siapa dirimu. Dengan membaca statusmu, kamu telah membuka aibmu sendiri. Membuka karaktermu, sifatmu, dan profilmu. Maka, (sekali lagi) jaga jari-jarimu! Agar tidak sampai membunuhmu.
Saring sebelum sharing, agar yang keluar hanya kebaikan dan kebenaran. Bukankah kesalahan menulis status yang diulang dan dibagikan terus-menerus setiap hari akan menjadi “kebenaran” baru. Inilah yang membahayakan peradaban kehidupan masyarakat.
Karena itulah, menyikapi ironi keterbukaan ini, selain mengendalikan diri untuk tidak mengunggah hal-hal buruk adalah diam. Jika tak mampu berbuat baik, maka jangan malah berbuat buruk, tetapi bersikap diam adalah jihad terbaik.
Source: Dreamers | Republika