Bicaraindonesia.id – Sebanyak 559 juta anak saat ini mengalami paparan gelombang panas dengan frekuensi kejadian yang tinggi. Hal ini diungkap dalam laporan penelitian terbaru dari UNICEF.
Lebih jauh lagi, terdapat 624 juta anak terpapar satu dari tiga aspek lain yang terkait dengan fenomena gelombang panas. Yakni, durasi yang panjang, tingkat keparahannya yang tinggi, dan suhu tinggi yang ekstrem.
Laporan berjudul The Coldest Year Of The Rest Of Their Lives: Protecting Children From The Escalating Impacts Of Heatwaves ini menyoroti dampak peristiwa ini yang telah dirasakan secara luas oleh anak-anak.
Dalam laporan itu menyebutkan, pada masa ketika pemanasan global berada di level yang lebih rendah sekalipun, dalam tiga dasawarsa ke depan anak-anak di seluruh dunia tidak akan bisa menghindari gelombang panas dan frekuensinya yang tinggi.
Laporan tersebut memperkirakan bahwa pada 2050 seluruh anak di dunia, atau sebanyak 2,02 miliar jiwa, akan mengalami gelombang panas dalam frekuensi yang tinggi.
Hal ini terlepas dari keberhasilan dunia dalam mewujudkan ‘skenario emisi gas rumah kaca pada tingkat rendah’, yaitu dengan perkiraan kenaikan suhu sebesar 1,7 derajat pada 2050 ataupun ‘skenario emisi gas rumah kaca pada tingkat amat tinggi’, dengan perkiraan kenaikan suhu sebesar 2,4 derajat pada 2050.
Disusun melalui kolaborasi dengan The Data Collaborative for Children dan dirilis melalui kemitraan dengan Duta Persahabatan UNICEF (UNICEF Goodwill Ambassador) Vanessa Nakate serta Rise Up Movement, suatu gerakan yang berbasis di Afrika, laporan ini menggarisbawahi mendesaknya kebutuhan untuk mengadaptasikan layanan sosial yang selama ini diandalkan oleh anak-anak. Hal tersebut seiring dengan perluasan dampak pemanasan global yang tidak bisa dihindari.
Laporan ini juga menunjukkan bahwa upaya mitigasi iklim tidak boleh berhenti demi mencegah dampak yang lebih buruh dari dua aspek lain peningkatan suhu. Termasuk gelombang panas yang durasinya lebih panjang dan temperaturnya lebih tinggi serta peristiwa suhu ekstrem yang lebih tinggi.
“Kenaikan suhu sedang terjadi, dan begitu pula dengan dampaknya terhadap anak-anak,” kata Direktur Eksekutif UNICEF, Catherine Russel dalam siaran pers yang diterima redaksi Bicaraindonesia.id pada Rabu (25/10/2022).
Catherine Russel menyatakan, saat ini 1 dari 3 anak yang tinggal di negara-negara dengan suhu tinggi ekstrem dan hampir 1 dari 4 anak, terpapar gelombang panas dengan frekuensi tinggi. Menurut dia, ke depan hal seperti ini hanya akan memburuk.
“Jumlah anak yang terdampak gelombang panas yang lebih panjang durasinya, lebih panas, dan lebih sering akan bertambah dalam tiga puluh tahun ke depan, dan kesehatan serta kesejahteraan mereka akan terancam,” sebutnya.
Catherine juga menjelaskan seberapa parah efek perubahan ini di masa mendatang ditentukan oleh tindakan yang diambil sekarang. Karena itu, kata dia, minimal pemerintah harus segera mengambil langkah untuk membatasi kenaikan suhu pada tingkat 1,5 derajat celsius. Juga, meningkatkan besaran pendanaan program-program adaptasi iklim hingga dua kali lipat pada 2025.
“Inilah satu-satunya cara untuk menyelamatkan kehidupan dan masa depan anak-anak serta masa depan bumi,” tegas Catherine.
Gelombang panas menimbulkan efek negatif khususnya pada anak-anak karena kemampuan meregulasi suhu tubuh belum sematang orang dewasa. Semakin sering anak terpapar gelombang panas, makim besar pula risiko anak mengalami masalah kesehatan, termasuk gangguan pernapasan kronis, asma, dan penyakit kardiovaskuler.