Bicaraindonesia.id – Juni ditetapkan sebagai bulan yang setiap warsa diperingati sebagai Bulan Bakti Bung Karno atau Hari Kelahiran Soekarno. Peringatan tersebut merupakan upaya untuk terus merayakan dan melanjutkan gagasan serta pemikiran Presiden pertama Republik Indonesia (RI).
Berbicara mengenai Bulan Bakti Bung Karno, tentu tak bisa lepas dari Kota Pahlawan. Sebab, Surabaya merupakan kota kelahiran sekaligus tempat Bung Karno pertama kali belajar agama Islam.
Inisiator Komunitas Begandring Soerabaia, Kuncarsono Prasetyo mengungkapkan, selain lahir pada 6 Juni 1901 di Jalan Pandean IV No 40 Surabaya, Bung Karno untuk pertama kalinya juga bekerja di Kota Pahlawan.
“Bung Karno pertama kali menikah dan kerja juga di Surabaya. Bahkan, ia juga pertama kali mengenal Islam di Surabaya. Jadi orang tidak banyak yang tahu,” kata Kuncar panggilan lekatnya, Rabu (8/6/2022).
Sejarah itu, dikatakan Kuncar, berdasarkan catatan histori buku yang ditulis oleh Cindy Adams dengan judul ‘Penyambung Lidah Rakyat Indonesia’. Buku tersebut juga menjadi tanda sekaligus bukti, bahwa Putra Sang Fajar dilahirkan di Jalan Pandean IV No 40, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng Kota Surabaya.
“Catatan pertama, Bung Karno lahir di Pandean Surabaya. Namun saat itu, hanya enam bulan Bung Karno tinggal di Surabaya, yakni sejak lahir 6 Juni sampai 28 Desember 1901,” ungkap dia.
Menurut Kuncar, saat baru berusia enam bulan itu, Raden Soekemi Sosrodihardjo atau ayah Bung Karno mendapatkan SK Mutasi ke Ploso, Kabupaten Jombang sebagai guru. Otomatis Putra Sang Fajar pun diboyong ayahnya untuk tinggal bersama di Jombang.
“Baru usia 6 bulan Bung Karno lahir, lalu pindah ke Jombang. Nah, saat usianya menginjak 4 tahun, Bung Karno kemudian dibawa kakeknya ke Tulungagung, karena sakit-sakitan,” ujar Kuncar.
Namun, ketika usianya memasuki 7 tahun, ayah Bung Karno harus pindah tugas ke Mojokerto. Tentu saja Bung Karno kecil turut serta dan harus menempuh pendidikan sekolah di sana.
“Jadi saat Bung Karno umur 7 tahun itu pindah di Mojokerto. Di sana sempat tidak naik kelas satu tahun, sehingga sekolah sampai umur 15 tahun,” papar Kuncar.
Setelah lulus sekolah di Mojokerto, sang proklamator kembali pindah untuk melanjutkan pendidikan di Hoogere Burgerschool (HBS), Kebon Rojo Surabaya. Yakni, sekolah untuk bumiputera yang berdiri pada zaman penjajahan Belanda. Selama sekolah di HBS, Soekarno muda tinggal bayar makan (indekos) di rumah milik Hadji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, di Jalan Peneleh Gang VII Surabaya.
Selama mengenyam sekolah di HBS atau setara jenjang SMA, Bung Karno dikenal sebagai pemuda yang pintar dan cerdas. Kecerdasan Putra Sang Fajar itu, disebut Kuncar, lantaran suka membaca dan meminjam buku di perpustakaan Freemason, Jalan Tunjungan Surabaya.
“Bung Karno pintar karena menjadi member VIP perpustakaan freemason, sekarang jadi kantor BPN (Badan Pertanahan Nasional). Padahal kelak, organisasi Freemason itu sendiri yang dilarang oleh Bung Karno,” jelas dia.
Tak hanya mengenyam sekolah HBS di Surabaya, namun Bung Karno ketika usianya 15 tahun juga untuk pertama kalinya mengenal Islam. Untuk pertama kalinya Sang Proklamator mengenal Islam karena diajak HOS Tjokroaminoto mengikuti pengajian rutin setiap bulan di depan rumahnya.
“Di depan rumah Pak Tjokro itu dulu merupakan aktivis Muhammadiyah. Waktu itu organisasi Muhammadiyah baru berusia 8 tahun,” kata Kuncar.
Setiap bulan, Soekarno muda diajak HOS Tjokroaminoto mengikuti pengajian rutin. Berdasarkan catatan yang diketahui Kuncar, sebelumnya Bung Karno mengaku jika keluarganya belum pernah mengenalkan agama Islam.
“Jadi pertama kali Soekarno mengenal agama Islam saat ikut pengajian di depan rumahnya Pak Tjokro,” ujarnya.
Seiring berjalannya waktu, pada usia 21 tahun, Bung Karno kemudian diterima menjadi mahasiswa di Institut Teknologi Bandung (ITB) Jawa Barat. Namun, baru menempuh pendidikan kuliah, Soekarno mendapatkan informasi jika istri HOS Tjokroaminoto meninggal dunia.
“Mendapatkan informasi Bu Tjokro meninggal dunia, sehingga dia (Bung Karno) memilih cuti kuliah tujuh bulan untuk balik lagi ke Surabaya,” katanya.
Di Surabaya, kata Kuncar, sang proklamator memilih bekerja sebagai petugas kereta api di Stasiun Semut. Itu merupakan kali pertama Putra Sang Fajar bekerja agar mendapatkan uang.
“Selama 7 bulan itu Bung Karno bekerja di Stasiun Semut untuk mendapatkan uang dan uangnya itu dikasihkan kepada Pak Tjokro,” ujar Kuncar.
Di waktu cuti kuliah itu, kata Kuncar, adik HOS Tjokroaminoto juga menyarankan Soekarno agar menikah dengan putri sulung HOS Tjokroaminoto, yakni Siti Oetari. Bung Karno pun sepakat untuk menikahinya karena merasa iba dengan HOS Tjokroaminoto.
“Di atas Jembatan Peneleh (Surabaya), Bung Karno menyatakan cintanya kepada Oetari karena memandang Pak Tjokro galau setelah istrinya meninggal,” kata Kuncar.
Lantas pernikahan antara Soekarno dengan Siti Oetari kemudian digelar. Pernikahan Bung Karno dengan istri pertamanya Siti Oetari itu, digelar di Surabaya, tepatnya di ruang tamu rumah milik HOS Tjokroaminoto.
“Setelah menikah dan cuti kuliahnya habis, dia (Bung Karno) kemudian memboyong istrinya ke Bandung untuk melanjutkan lagi kuliahnya,” tandasnya. (*/A1)