Bicaraindonesia.id – Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga merasa prihatin atas adanya perempuan korban kekerasan seksual yang masih mengalami reviktimisasi dan victim blaming.
Menurut Menteri PPPA, saat ini korban kekerasan seksual kerap disalahkan oleh banyak pihak terkait cara bergaul dengan lawan jenis hingga cara menggunakan media sosial.
“Menjadi korban pelecehan seksual saja sudah menimbulkan trauma bagi para korban, ditambah dengan komentar atau bahkan tindakan yang tidak seharusnya diberikan kepada korban. Sulit untuk membayangkan bagaimana kondisi para korban kekerasan seksual yang mendapat victim blaming. Korban seringkali disalahkan sekaligus dianggap sebagai penyebab terjadinya tindak kejahatan kekerasan seksual oleh masyarakat, sehingga sulit untuk mendapatkan keadilan,” kata Menteri PPPA melalui siaran persnya di Jakarta, Sabtu (12/2/2022).
Padahal, Menteri PPPA menilai, victim blaming dapat menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap korban. Mulai dari adanya rasa takut untuk melapor, trauma, depresi, hingga bunuh diri.
“Menjadi korban kekerasan seksual bukanlah suatu kesalahan maupun aib. Begitu banyak dampak psikologis yang dialami korban. Oleh karena itu, korban berhak mendapatkan hak atas kebenaran, pemulihan, dan perlindungan secara penuh. Tidak ada toleransi sekecil apapun karena kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia,” tegas Menteri PPPA.
Menteri PPPA berharap, kondisi victim blaming di Indonesia bisa segera dihentikan. Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menyatakan, semua warga negara memiliki kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan.
Terlebih, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang mengatur bahwa Negara wajib memberikan perlindungan kepada perempuan dalam segala bidang, baik di bidang hukum dan politik, maupun ekonomi, sosial, budaya, sipil, dan lainnya.
Sebelumnya, dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), Menteri PPPA menyatakan, peraturan ini disusun dengan berperspektif terhadap korban.
“Berperspektif terhadap korban yang dimaksudkan adalah mencegah terjadinya reviktimisasi dan victim blaming dalam proses penanganan hukum. Ini adalah aspek yang penting karena Pemerintah menyadari kekerasan seksual adalah permasalahan yang kompleks. Oleh karena itu, ketika berurusan dengan hukum, Aparat Penegak Hukum (APH) maupun pendamping, seperti psikolog, tenaga kesehatan, atau praktisi hukum, harus memiliki naluri yang tajam agar tidak mengarah ke blaming the victim,” jelas Menteri PPPA.
Menteri PPPA menekankan pentingnya peran masyarakat untuk mendukung, menyemangati, dan melindungi korban yang sudah berani melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya.
“Tumbuhkanlah rasa empati pada korban, karena tidak mudah bagi korban untuk bangkit dari peristiwa kekerasan seksual dan berani menyuarakannya. Korban juga butuh didampingi selama proses hukum dan pemulihan diri. Lebih baik kita memberikan dukungan moral dan rasa percaya, daripada hanya sekadar menyudutkan dan menyalahkan korban tanpa dasar yang jelas,” tutur dia.
Menteri PPPA menambahkan, masyarakat dapat melaporkan kekerasan seksual yang diketahui ataupun dialaminya kepada lembaga yang berwenang.
“Selain itu, masyarakat juga dapat melapor kepada layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 melalui Call Center 129 dan Whatsapp 08111-129-129,” tutup Menteri PPPA. (B1)