Bicaraindonesia.id – Anggota Komisi I DPR RI Sukamta mengingatkan peran pemerintah dalam menghadapi pasukan siber karena dinilai dapat mengancam demokrasi.
Ini berdasarkan penelitian LP3ES, Universitas Diponegoro, Universitas Islam Indonesia, Drone Emprit dan University of Amsterdam dan KITLV Leiden yang dipublikasikan pada 2021 menemukan bahwa pasukan siber (cyber troop) berperan dalam memanipulasi persepsi publik dalam sejumlah narasi kebijakan pemerintah.
“Pasukan siber ini memanfaatkan ke-anonim-an yang sangat dimungkinkan di internet. Akun-akun fiktif di media sosial bisa dibuat dan susah dilacak serta divalidasi identitasnya. Ini realitas yang tidak bisa dihindari. Sayangnya, yang disebarkan oleh pasukan siber itu justru disinformasi. Di sinilah peran pentingnya diseminasi informasi yang benar sebagai kontra narasi,” kata Sukamta sebagaimana dilansir dalam laman resmi dpr.go.id, Rabu (3/11/2021).
Menurut Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) DPR RI ini, pemerintah dalam hal ini Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sebagai humas harus bisa memerankan fungsi komunikasinya dengan baik dan transparan serta seimbang dengan peran informatikanya. Kominfo harus bisa mengomunikasikan kebijakan publik ke masyarakat luas.
“Jangan sampai komunikasi publik yang buruk memunculkan dugaan-dugaan di benak masyarakat yang pada akhirnya masyarakat punya kesimpulan sendiri, yang sering kali menjadi hoaks. Lantas pemerintah menindak masyarakat yang dianggap penyebar hoaks tadi, padahal bisa jadi sumber hoaks adalah pemerintah sendiri yang disebabkan komunikasi publik yang buruk,” ujarnya.
Sukamta menambahkan, bahwa Kominfo harus hadir melakukan kontra narasi. Sebab, pasukan siber ini sangat merepotkan. Apalagi, entitasnya sulit dilacak dan diketahui identitasnya. Terlebih pula sekarang ini pasukan siber tidak hanya user manusia dan bot, tapi juga bisa saja robot.
“Contoh terbaru misalnya tempo hari di bidang forex dan robot trading, ada kasus ‘kesalahan’ yang dibuat oleh robot trading mengakibatkan para investor terkena margin call massal, yang intinya uang investor raib,” terang Sukamta.
Legislator dapil Daerah Istimewa Yogyakarta ini melanjutkan, cara yang perlu dilakukan adalah dengan membatasi ruang gerak pasukan siber. Namun, harus dibarengi dengan imunitas masyarakat. Bagi dia, digital literacy harus terus digalakkan terhadap masyarakat. Harapannya masyarakat bisa memilah mana konten yang positif, sehat dan valid, dengan konten yang negatif.
Menurutnya, jika digital literacy masyarakat tinggi, tentu konten-konten disinformasi akan terminimalisasi karena kurang diminati.
“Pada akhirnya, jika kita melihat gambaran dan alur besarnya, bisa saja kehadiran pasukan siber tetap memberi dampak positif untuk demokrasi ke depannya. Kita belum tahu akhir dan ujung dari semua ini kan? Kita masih dalam proses. Sisi positif pasukan siber bisa sebagai pemantik dan agitator diskusi dan perdebatan,” jelasnya. ***
Editorial: B1
Source: DPR RI