Bicaraindonesia.id, Surabaya – Meningkatnya ancaman siklon tropis di Samudera Hindia dalam beberapa waktu terakhir menjadi peringatan serius bagi pemerintah daerah dan masyarakat untuk meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi bencana hidrometeorologis.
Pakar mitigasi kebencanaan dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Amien Widodo, menegaskan bahwa situasi ini harus menjadi momentum penguatan kapasitas masyarakat dalam menghadapi dampak bencana.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebelumnya telah menyampaikan peringatan dini sebelum terjadinya Siklon Seniyar yang memicu hujan ekstrem serta menyebabkan banjir bandang dan longsor besar di sejumlah wilayah Sumatera.
Amien menjelaskan bahwa curah hujan ekstrem yang dibawa Siklon Seniyar berinteraksi dengan kondisi topografi bergunung-gunung dan kerusakan hutan yang telah terjadi puluhan tahun.
“Akibatnya, tanah menjadi tidak stabil dan banjir bandang membawa lumpur, batu, serta kayu gelondongan dengan daya rusak yang sangat besar,” jelas Amien Widodo dalam pernyataan persnya di Surabaya, Sabtu (6/12/2025).
Dalam Rapat Dengar Pendapat DPR bersama BMKG pada 2 Desember 2025, turut disampaikan kemunculan bibit siklon tropis baru di selatan Pulau Jawa yang berpotensi berdampak pada wilayah Jawa-Bali-NTT hingga Timika, Papua.
Amien menilai peringatan tersebut harus segera direspons dengan langkah mitigasi konkret karena tragedi di Sumatra menunjukkan bahwa keterlambatan persiapan dapat berakibat fatal.
Di Jawa Timur, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) telah memetakan 14 potensi bencana, termasuk 13 jenis bencana alam seperti banjir bandang, longsor, cuaca ekstrem, hingga tsunami.
Wilayah rawan banjir bandang dan longsor tersebar di lebih dari 30 kabupaten/kota, mulai dari Pacitan, Ponorogo, Trenggalek, Malang, Jember, hingga Banyuwangi.
Amien menekankan upaya pengurangan risiko bencana tidak dapat hanya mengandalkan pemerintah atau lembaga penolong. Pemberdayaan masyarakat, menurutnya, menjadi faktor kunci keselamatan.
Ia merujuk hasil survei korban Gempa Kobe, Jepang (1995), yang menunjukkan bahwa 35 persen penyelamatan dilakukan oleh diri sendiri, 32 persen oleh keluarga, dan 28 persen oleh tetangga. Sementara bantuan dari luar hanya 5 persen. Artinya, 67 persen keselamatan ditentukan oleh kemampuan diri sendiri dan keluarga.
“Semua anggota keluarga termasuk lansia, balita, dan penyandang disabilitas harus memahami ancaman yang ada di sekitar mereka,” ujar dosen Departemen Teknik Geofisika ITS itu.
Amien menambahkan saat terjadi bencana besar, tidak jarang desa menjadi terisolasi.
“Apabila masyarakat telah diberdayakan dan dibekali pengetahuan serta persediaan yang benar, mereka akan tetap dapat bertahan hidup tanpa harus menunggu bantuan eksternal,” ujarnya.
Ia menegaskan perlunya sinergi antara pemerintah, komunitas lokal, dan sektor swasta. Menurutnya, dukungan komunitas terpadu dapat memperkuat ketangguhan masyarakat dalam menghadapi ancaman siklon tropis dan bencana hidrometeorologis lainnya. Ketangguhan, kata Amien, harus dibangun melalui edukasi, latihan, dan kolaborasi.
“Jika setiap keluarga dan setiap kampung sadar ancaman, maka 95 persen dari mereka akan selamat,” pungkasnya. (*/Pr/C1)


