Bicaraindonesia.id, Surabaya – Komitmen Kota Surabaya dalam mengelola sampah secara modern kembali menarik perhatian daerah lain. Bupati Bantul, Abdul Halim Muslih, berkunjung ke Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PSEL) Benowo, Surabaya, Selasa (7/10/2025).
Kunjungan tersebut disambut langsung oleh Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi, yang menjelaskan secara rinci proses pengolahan sampah menjadi energi listrik ramah lingkungan.
PSEL Benowo menjadi simbol kemajuan pengelolaan sampah di Indonesia. Fasilitas ini tidak hanya mengurangi timbunan sampah, tetapi juga mengubahnya menjadi energi listrik yang bermanfaat bagi masyarakat.
Teknologi yang diterapkan bahkan diakui sebagai satu-satunya sistem di Indonesia yang telah beroperasi secara komersial dan menghasilkan listrik untuk disalurkan ke PLN.
Dalam kesempatan itu, Eri Cahyadi memaparkan perjalanan panjang Surabaya dalam mengelola sampah kota. Ia menjelaskan bahwa sejak awal, Surabaya memilih teknologi gasifikasi yang dinilai lebih ramah lingkungan dibandingkan insinerator.
“Pemanfaatan sampah dengan teknologi ini menghasilkan listrik, dan seluruhnya akan dicover oleh Danantara. Surabaya saat ini menjadi contoh nasional karena satu-satunya kota yang mampu mengolah sampah hingga menghasilkan listrik,” ujar Eri Cahyadi di sela kunjungan.
Saat ini, PSEL Benowo menghasilkan listrik hingga 11 megawatt (MW), dengan sekitar 9 MW disalurkan ke PLN, sedangkan sisanya digunakan untuk kebutuhan operasional.
“Insyaallah, setelah tahun 2032 nanti, seluruh sistem ini akan sepenuhnya menjadi milik daerah. Artinya, listrik yang dihasilkan dapat masuk sebagai pendapatan asli daerah (PAD) Surabaya,” tambahnya.
Meski demikian, Eri menyoroti tantangan besar dalam pembiayaan pengelolaan sampah. Ia menilai, tidak semua daerah memiliki kemampuan fiskal seperti Surabaya.
“Kalau tidak ada dukungan fiskal, mustahil daerah bisa mengolah sampah dengan baik. Maka dari itu, Danantara hadir sebagai bagian dari negara untuk membantu daerah dengan pembiayaan, investasi, hingga pemilihan investor yang akan menggerakkan pengolahan sampah menjadi listrik,” jelasnya.
Pemerintah pusat saat ini juga tengah menyiapkan program nasional pengelolaan sampah berbasis energi melalui kerja sama lintas kementerian dengan melibatkan Danantara sebagai lembaga pelaksana.
Dalam rencana itu, daerah dengan produksi sampah di atas 1.000 ton per hari akan mendapatkan dukungan pembangunan fasilitas pengolahan menggunakan teknologi insinerasi.
Eri menegaskan, teknologi insinerasi yang akan diterapkan setelah 2032 berbeda dengan model lama.
“Insinerasi nanti merupakan teknologi terbarukan yang lebih efisien dan lebih aman bagi lingkungan. Semua residu dan pencemaran udara akan dipantau langsung oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Ada standar baku emisi yang harus dipenuhi, tidak boleh lebih dari batas yang ditetapkan,” ujarnya.
Dalam proses pengolahan, Pemkot Surabaya juga terus berinovasi memanfaatkan residu hasil pembakaran agar tidak menimbulkan pencemaran. Residu abu atau fly ash digunakan untuk material urug dan bahan konstruksi, sementara sebagian limbah plastik dan organik diolah melalui teknologi pirolisis untuk menghasilkan minyak.
“Kami tidak ingin ada sisa yang terbuang. Semuanya kami upayakan bisa bernilai guna kembali. Karena itu kementerian melihat bahwa sistem di Surabaya ini sudah proven, terbukti berhasil dan menjadi rujukan nasional,” ungkap Eri.
Sementara itu, Bupati Bantul, Abdul Halim Muslih, mengapresiasi inovasi yang dilakukan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya. Ia menilai, sistem pengelolaan sampah di PSEL Benowo memberikan inspirasi bagi daerah lain untuk bertransformasi menuju pengelolaan sampah modern.
“Setiap periode teknologi pengolahan sampah terus berkembang. Di Surabaya ini, bahkan sanitary landfill-nya pun dimanfaatkan untuk mengambil gas metan yang kemudian diubah menjadi listrik. Ini luar biasa,” kata Abdul Halim.
Ia menjelaskan, teknologi gasifikasi di PSEL Benowo mengubah sampah menjadi gas yang digunakan untuk menggerakkan turbin pembangkit listrik.
“Artinya, dari sampah saja bisa muncul nilai ekonomi baru. Ini menjadi contoh bahwa sampah bukan lagi beban, tapi sumber energi,” lanjutnya.
Abdul Halim juga menyoroti efisiensi biaya pengelolaan sampah di Surabaya yang dinilai lebih hemat dibandingkan kota lain.
“Surabaya ini bagus karena tipping fee-nya rendah. Banyak daerah lain yang tipping fee-nya bisa mencapai Rp500 ribu hingga Rp600 ribu per ton, sementara Surabaya hanya sekitar Rp267 ribu sampai tahun 2032,” ujarnya.
Menurutnya, model pengelolaan seperti di Surabaya perlu diadaptasi oleh daerah lain agar keuangan daerah lebih efisien.
“Kalau pengelolaan sampah bisa dilakukan dengan efisien dan ramah lingkungan, anggaran daerah bisa dialihkan untuk hal lain seperti penanggulangan kemiskinan dan pembangunan infrastruktur,” tegasnya. (Dap/A1)