Bicaraindonesia.id, Surabaya – Sektor jasa konstruksi di Jawa Timur tengah menghadapi tantangan berat. Data menunjukkan jumlah badan usaha yang memiliki Sertifikat Badan Usaha (SBU) mengalami penurunan tajam dalam empat tahun terakhir.
Jika pada akhir 2020 tercatat lebih dari 14 ribu badan usaha, kini jumlahnya menyusut menjadi kurang dari 3 ribu. Artinya, lebih dari 11 ribu badan usaha tidak lagi tercatat dalam industri konstruksi.
Wakil Ketua Gabungan Pengusaha Kontraktor Nasional Indonesia (Gapeknas) Jawa Timur, Muhammad Alyas, menjelaskan ada beberapa faktor yang melatarbelakangi kondisi ini. Pertama, persyaratan pengurusan SBU semakin kompleks setelah terbitnya regulasi turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi.
“Dulu persyaratannya lebih sederhana. Sekarang syarat semakin banyak, sehingga pelaku usaha kecil menengah merasa keberatan,” ujar Alyas dalam keterangannya di Surabaya dikutip pada Rabu (1/10/2025).
Selain itu, menurut Alyas, sulitnya mendapatkan proyek juga menjadi penyebab utama. Ia menilai proses pengadaan, khususnya melalui sistem e-procurement dan e-katalog, dinilai semakin tertutup.
“Sekarang mencari proyek tidak lagi fair. Diperlukan kedekatan personal dengan pihak tertentu, sehingga banyak kontraktor kecil enggan memperpanjang SBU karena merasa tidak punya akses,” sebut Alyas.
Kondisi ini dinilainya makin kompleks setelah Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) provinsi dilikuidasi dan kewenangannya dipusatkan di Jakarta. Padahal, keberadaan LPJK daerah sebelumnya berperan penting sebagai sumber data dan pembinaan bagi kontraktor lokal.
“Sekarang data valid soal kebutuhan tenaga kerja konstruksi sulit didapatkan. Padahal dulu LPJK provinsi rutin melakukan pembinaan dan pendataan,” jelas Alyas, yang juga pernah menjabat sebagai Sekretaris LPJK dua periode.
Di samping itu, Gapeknas juga menyoroti risiko capital flight, yakni keluarnya dana daerah akibat proyek dikerjakan kontraktor dari luar Jawa Timur.
“Kalau dikerjakan kontraktor luar, uang daerah justru keluar. Padahal kompetensi pengusaha dan tenaga kerja konstruksi Jatim tidak kalah dengan daerah lain,” katanya.
Karena itu, Gapeknas menilai pemerintah daerah (Pemda) perlu melibatkan kembali asosiasi kontraktor sebagai mitra strategis. Forum komunikasi yang sebelumnya rutin, seperti Forum Masyarakat Jasa Konstruksi, disebutkannya sudah empat tahun terakhir tidak berjalan.
“Kami berharap Dinas Cipta Karya maupun DPRD Jawa Timur proaktif mengundang asosiasi. Dengan begitu, masalah penurunan jumlah badan usaha bisa dibedah bersama untuk mencari solusi,” jelas Alyas.
Gapeknas juga mendorong agar paket proyek kecil hingga menengah diprioritaskan bagi kontraktor lokal, sesuai amanat UU Jasa Konstruksi. Terlebih, kontraktor kecil kini berpeluang mengerjakan proyek hingga Rp15 miliar.
Sebagai asosiasi, Gapeknas Jawa Timur yang dipimpin Baso Juherman, berfokus membantu anggotanya dalam menghadapi tantangan regulasi dan digitalisasi. Beberapa langkah yang dilakukan antara lain:
1. Memfasilitasi pemenuhan syarat administrasi SBU, termasuk sertifikat kompetensi kerja.
2. Meningkatkan literasi digital, terutama terkait penggunaan sistem e-katalog terbaru.
3. Mendorong profesionalitas kontraktor agar proyek sesuai standar mutu dan bermanfaat bagi masyarakat.
“Kami ingin membangun kesadaran bahwa proyek APBD itu berasal dari uang rakyat. Jadi selain mencari keuntungan, kontraktor juga harus meninggalkan karya monumental di daerahnya,” kata Alyas.
Perlunya Kebijakan Protektif
Menurut Gapeknas, Jawa Timur bisa belajar dari provinsi lain yang lebih protektif terhadap kontraktor lokal. Paket proyek kecil sebaiknya dipastikan dikerjakan oleh pelaku usaha setempat agar manfaat ekonomi tetap berputar di daerah.
“Kalau kita kontraktor Surabaya mengerjakan proyek di Surabaya, tentu lebih bertanggung jawab karena kita juga ikut menggunakan fasilitas itu,” tegas Alyas.
Penurunan jumlah badan usaha jasa konstruksi dari 14 ribu menjadi kurang dari 3 ribu dalam empat tahun terakhir dinilai sebagai alarm serius.
Oleh sebabnya, Gapeknas mendorong pemerintah daerah membuka ruang komunikasi dengan asosiasi serta memperkuat keberpihakan pada pengusaha lokal, agar sektor konstruksi tetap menjadi penopang ekonomi Jawa Timur. (*/Dap/A1)