Bicaraindonesia.id, Jakarta – Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengungkap bahwa layanan bagi korban kekerasan belum terlaksana secara maksimal. Pasalnya, hanya sebagian kecil korban yang tercatat dalam sistem pelayanan.
Kondisi tersebut disebabkan oleh masih banyaknya perempuan dan anak korban kekerasan yang belum merasa aman untuk melapor.
Hal ini disampaikan langsung oleh Menteri PPPA Arifah Fauzi saat menghadiri Rapat Evaluasi Kinerja Semester I 2025 Bidang Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung (Kejagung) di Jakarta, Selasa (5/8/2025).
Arifah menjelaskan bahwa berdasarkan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024, satu dari empat perempuan berusia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual.
“Sementara itu, dari hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) tahun 2024 menunjukkan bahwa satu dari dua anak di Indonesia pernah mengalami setidaknya satu bentuk kekerasan. Namun hanya sebagian kecil yang tercatat dalam sistem pelayanan. Ini menunjukkan bahwa korban masih sulit bicara dan belum merasa aman untuk melapor,” ujar Menteri PPPA dikutip melalui rilis tertulisnya di Jakarta pada Kamis (7/8/2025).
Dari data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), hingga 3 Juli 2025 tercatat 14.039 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Dalam kurun 17 hari, terjadi lonjakan lebih dari 2.000 kasus.
Meski begitu, angka tersebut masih jauh di bawah prevalensi kekerasan yang diungkap dalam SPHPN dan SNPHAR 2024, mengungkapkan prevalensi kekerasan jauh lebih tinggi.
Arifah menegaskan bahwa perlindungan perempuan dan anak merupakan mandat konstitusi, yang diperkuat melalui berbagai regulasi. Di antaranya Perpres No. 9 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Pencegahan serta Penanganan Kekerasan Seksual.
Kemudian, Permen PPPA No. 1 Tahun 2021 tentang Dana Alokasi Khusus Nonfisik Dana Pelayanan Perlindungan Perempuan dan Anak, serta PP No. 29 Tahun 2025 tentang Dana Bantuan Korban Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Selain itu juga diperkuat dengan PP No. 30 Tahun 2025 tentang Pencegahan Tindak Pidana Kekerasan Seksual serta Penanganan, Perlindungan, dan Pemulihan Korban.
Untuk memperkuat sistem perlindungan, pemerintah juga menginisiasi Gerakan Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak (GN-AKPA) yang melibatkan berbagai kementerian dan lembaga.
“GN-AKPA bukan milik satu institusi. Ini gerakan bersama agar upaya pencegahan, perlindungan, dan pemulihan berjalan lebih konkret di lapangan. Rencana Aksi Nasional (RAN) dan Rencana Aksi Daerah (RAD) sedang disusun bersama agar masuk dalam dokumen perencanaan dan penganggaran daerah,” jelas Menteri PPPA.
Sementara itu, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum), Asep Nana Mulyana, menyatakan bahwa Kejagung telah membentuk direktorat khusus yang menangani perkara anak dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Ia menambahkan, penguatan kelembagaan terus dilakukan agar penanganan kasus lebih responsif terhadap korban. Namun ia juga menekankan bahwa tantangan bukan hanya penegakan hukum, tetapi juga membangun keberanian korban untuk berbicara.
“Sering kali korban tidak menyadari dirinya sebagai korban. Kami butuh dukungan Kemen PPPA untuk memperkuat pemahaman korban agar bisa memberikan kesaksian dengan aman, tanpa tekanan, dan dengan pendampingan yang tepat,” ujar Jampidum. (*/Pr/A1)