Bicaraindonesia.id, Jakarta – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) terus mengintensifkan upaya mitigasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Sumatra Selatan (Sumsel) melalui Operasi Modifikasi Cuaca (OMC), pemantauan atmosfer harian, serta patroli darat lintas sektor bersama berbagai instansi terkait.
Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menegaskan bahwa puncak musim kemarau di wilayah tersebut memerlukan kewaspadaan tinggi dan tindakan cepat guna mencegah meluasnya titik-titik api.
“Hari ini merupakan salah satu hari paling kritis dalam seminggu terakhir, dengan tingkat kemudahan terbakar yang sangat tinggi. Kami telah kembali mengaktifkan OMC tahap kedua dan mengarahkan semaian ke zona-zona merah yang paling rentan terbakar,” ujar Dwikorita dalam siaran tertulis di Jakarta dikutip pada Rabu (30/7/2025).
Dwikorita menjelaskan bahwa operasi OMC di Sumatera Selatan telah dilaksanakan pada 13 hingga 18 Juli lalu, menghasilkan hujan sebesar 6,7 juta meter kubik di wilayah-wilayah prioritas, khususnya lahan gambut pesisir timur. Intervensi ini dinilai memberikan dampak signifikan dalam menekan potensi kebakaran, terutama jika dibandingkan dengan wilayah lain di Pulau Sumatera.
“Berkat intervensi dini dan kolaborasi lapangan yang kuat, Sumsel tahun ini relatif lebih ringan dampaknya dibandingkan Riau dan Jambi. Tapi itu tidak berarti kita boleh lengah. Justru sekarang saatnya memperkuat patroli dan pantauan mikro,” jelasnya.
BMKG juga menyampaikan prakiraan curah hujan selama Agustus 2025 yang berada pada kategori rendah hingga menengah, dengan sifat hujan umumnya di atas normal. Meskipun peluang hujan tetap ada, potensi kekeringan dan sebaran asap tetap perlu diwaspadai, khususnya jika curah hujan aktual berada di bawah prakiraan.
“Kami mengimbau agar semua pihak tidak hanya mengandalkan faktor cuaca. Upaya mitigasi harus holistik: dari udara lewat OMC, dari darat lewat patroli dan pengawasan hotspot, serta dari bawah lewat pemantauan air tanah,” imbuhnya.
Deputi Bidang Modifikasi Cuaca BMKG, Tri Seto Handoko, turut menyampaikan bahwa potensi pembentukan awan hujan pada 30 Juli dan beberapa hari ke depan cukup tinggi, sehingga peluang keberhasilan OMC meningkat secara signifikan.
Namun demikian, ia menekankan pentingnya pengawasan darat sebagai kunci keberhasilan mitigasi.
“Kunci utama saat ini adalah patroli darat. Kami minta perhatian khusus di zona merah dan kuning yang secara meteorologis masih sangat mudah terbakar. Jika sampai terbakar, padahal wilayahnya berada di zona biru atau hijau, artinya bukan karena faktor alamiah, ini harus dicermati,” tegasnya.
BMKG juga menekankan pentingnya pemantauan tinggi muka air tanah (TMAT) sebagai indikator kerentanan lahan.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) per 28 Juli 2025, sejumlah wilayah di Sumatera Selatan seperti PALI, Musi Rawas Utara, dan sebagian Musi Banyuasin masih menunjukkan status ‘Rawan’ hingga ‘Berbahaya’.
“Wilayah dengan TMAT kategori merah dan hitam harus menjadi sasaran utama patroli. Jika muka air tanah sudah sangat rendah, maka satu percikan saja bisa memicu karhutla besar,” tandasnya. (*/Pr/A1)