Bicaraindonesia.id, Bandung – Tim riset dari Pusat Riset Kebencanaan Geologi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) kembali mengungkap jejak bencana purba di pesisir selatan Jawa.
Survei paleotsunami yang digelar sejak Mei 2025 menyorot endapan sedimen kuno di wilayah Kulon Progo, Bantul, dan Gunung Kidul, dengan salah satu lapisan berusia sekitar 1.800 tahun.
Sebagai negara yang berada di pertemuan tiga lempeng tektonik aktif dunia, yakni Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik, Indonesia memiliki tingkat kerawanan yang tinggi terhadap bencana gempa bumi dan tsunami, terutama di wilayah pesisir selatan Jawa.
Namun demikian, Periset Bidang Sedimentologi, Pusat Riset Kebencanaan Geologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Purna Sulastya Putra, mengungkap bahwa catatan sejarah mengenai peristiwa tsunami di wilayah ini masih sangat terbatas.
“Artinya, kita bisa saja melewatkan ancaman besar yang pernah terjadi di masa lalu, sebagaimana kita lihat pada kasus tsunami raksasa Aceh 2004,” kata Purna dalam keterangan tertulis dikutip melalui laman resmi brin.go.id pada Jumat (18/7/2025).
Berdasarkan survei lapangan yang telah dilakukan sejak 2006 hingga 2024, tim BRIN mencatat adanya lapisan endapan tsunami purba yang tersebar di selatan Jawa, mulai dari Lebak, Pangandaran, Kulon Progo, hingga Pacitan. Salah satu lapisan bahkan diperkirakan berasal dari peristiwa tsunami sekitar 1.800 tahun lalu.
Indikasi Tsunami Raksasa Megathrust
Temuan endapan tsunami dengan umur yang sama di berbagai lokasi sepanjang selatan Jawa mengindikasikan bahwa peristiwa tersebut sangat besar. Kemungkinan, endapan ini merupakan akibat dari gempa megathrust bermagnitudo 9 atau lebih, seperti tsunami Aceh 2004.
Untuk melengkapi temuan tersebut, pada Mei 2025, BRIN melanjutkan kegiatan survei di wilayah selatan Kulon Progo, Bantul, dan Gunung Kidul, dengan fokus pencarian jejak tsunami yang lebih muda usianya, karena secara hipotesis perulangan gempa besar dengan magnitudo >9.0 di selatan Jawa adalah sekitar 675 tahun sekali.
“Metode yang digunakan adalah pemboran tangan, trenching atau pembuatan kolam paritan, dan pemetaan LiDAR,” jelas Purna. Metodologi ini memungkinkan tim mengidentifikasi lapisan sedimen khas hempasan gelombang besar.
Hasil trenching di kawasan Kulon Progo membuahkan penemuan tiga lapisan pasir yang diduga kuat sebagai endapan tsunami purba. Lapisan tersebut mengandung foraminifera laut dan memiliki struktur khas akibat hempasan gelombang besar.
Purna menerangkan bahwa salah satu lapisan yang ditemukan diduga berasal dari kejadian tsunami sekitar 1.800 tahun lalu. Ia juga menambahkan bahwa terdapat lapisan-lapisan lain yang usianya lebih muda, yang mengindikasikan bahwa tsunami besar kemungkinan telah terjadi berulang kali di wilayah tersebut.
Saat ini, proses analisis terhadap sampel-sampel sedimen tersebut masih berlangsung. Sampel dengan analisis radiocarbon dating sedang dikirim ke laboratorium luar negeri untuk mengetahui waktu kejadian tsunami purba.
“Temuan paleotsunami ini bukan sekadar catatan akademik. Data tersebut sangat penting untuk menyusun zonasi wilayah rawan bencana, menjadi pertimbangan tata ruang dan pembangunan wilayah pesisir, serta meningkatkan kesadaran publik termasuk simulasi evakuasi tsunami (tsunami drill), khususnya di kawasan wisata Pantai,” tegas Purna.
Pihaknya berharap, temuan ini menjadi bagian dari pengambilan kebijakan berbasis data ilmiah. Sehingga, mitigasi bencana dapat dilakukan secara lebih tepat, efektif, dan menyeluruh. (*/Hum/B1)