Bicaraindonesia.id – Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan RI, Moh Mahfud MD menegaskan, bahwa Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tidak akan dicabut.
Akan tetapi, Menko Polhukam menyebut, berdasarkan hasil Tim Kajian UU ITE yang dilakukan Kemenko Polhukam, ada dua produk untuk memenuhi arahan Presiden terkait dengan revisi UU ITE.
“Pada tanggal 15 Februari, Presiden berpidato agar dilakukan kajian ulang. Pertama harus ada pedoman implementatif agar tidak dimain-mainkan seperti karet. Kedua, supaya dikaji mungkin substansinya memang kurang tepat. Berdasar itu, maka Menko Polhukam membentuk tim yang dipimpin oleh Deputi III, Sugeng Purnomo, yang kemudian melakukan telaah, yang hasilnya UU ITE tidak akan dicabut,” kata Menko Polhukam Mahfud MD dalam siaran pers resminya di Jakarta, Jumat (11/6/2021).
Menurut dia, kesimpulan ini diperoleh setelah pihaknya melakukan FGD dengan tidak kurang dari 50 orang akademisi, praktisi hukum, NGO, korban UU ITE, pelapor UU ITE, politisi, jurnalis baik perorangan maupun organisasi. “Tetapi ada dua produk untuk memenuhi arahan Presiden itu,” terangnya.
Menko Polhukam menjelaskan, pertama, adanya Surat Keputusan Bersama yang akan dikeluarkan oleh Menkominfo, Jaksa Agung dan Kapolri, yang isinya pedoman implementasi kriteria-kriteria agar sama berlakunya bagi setiap orang. Kedua, akan dilakukan revisi terbatas, sifatnya semantik tapi substantif uraiannya.
“Misalnya masalah kekusilaan yang disebut di dalam Pasal 27 ayat (1). Sekarang ditegaskan pelaku yang dapat dijerat oleh Pasal 27 ayat (1) UU ITE terkait dengan penyebaran konten kesusilaan adalah pihak yang memiliki niat menyebarluaskan untuk diketahui oleh umum. Jadi bukan yang melakukan kesusilaan, tetapi yang menyebarkan itu yang kena. Jadi kalau orang cuma bicara mesum, membuat gambar-gambar melalui elektronik tetapi dia bukan penyebarnya itu tidak apa-apa. Dia bisa dihukum tetapi bukan dengan UU ITE, ada UU nya sendiri misalnya UU Pornografi,” katanya.
Kedua, misalnya pencemaran nama baik dan fitnah seperti diatur pasal 27 ayat (3). Di dalam usul revisi, dibedakan norma antara penyebaran nama baik dan fitnah sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50.PU.6.2008 termasuk perubahan ancaman pidananya, diturunkan.
“Misalnya ada yang terbukti benar “Pak Mahfud itu dipunggungnya banyak tato, itu dulu adalah anggota preman”. Sesudah diperiksa tidak terbukti, itu namanya fitnah. Tapi kalau diperiksa betul ada tato itu namanya pencemaran, ghibah, bisa dihukum. Kalau tidak terbukti namanya fitnah, tapi kalau terbukti namun saya tidak tenang cerita itu didengar orang lain, maka bisa dihukum juga,” ungkapnya.
Selain itu, ada delik aduan bahwa pihak yang menyampaikan pengaduan dalam pencemaran, fitnah, menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menggunakan sarana ITE hanya korban yang boleh menyampaikan pengaduan.
Menko Polhukam mencontohkan, misalnya ada orang menghina seorang profesor menyangkut pribadi, yang boleh mengadu hany profesor atau kuasa hukumnya, bukan orang lain yang tidak ada kaitannya.
“Sekarang menurut Surat Edaran Kapolri dan kita adopsi di sini harus orang yang langsung menjadi korban yang melaporkan itu,” kata Menko Polhukam Mahfud MD.
Kemudian, pemerasan atau pengancaman, Pasal 27 ayat (4). Dalam usul revisi dipertegas normanya dengan menguraikan unsur ancaman pencemaran, ancaman akan membuka rahasia, memaksa seseorang supaya memberikan barang seluruhnya atau sebagian kepunyaannya itu, supaya misalnya membuat pernyataan hutang yang dilakukan dengan menggunakan sarana eletronik. Sekarang jadi diurai agar tidak menjadi pasal karet.
Terakhir, terkait ujaran kebencian. Dalam UU ITE normanya hanya menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu atau kelompok masyarakat berdasar SARA. Dalam revisi dipertegas dengan norma bukan hanya menyebarkan masalah SARA tetapi menghasut, mengajak, atau mempengaruhi ketika dia menyebarkan informasi itu.
“Kalau cuma menyebarkan tanpa niat, ini tidak bisa. Itu semua ditujukan untuk menimbulkan rasa benci, atau permusuhan terhadap individu atau kelompok masyarakat berdasarkan SARA,” kata Menko Polhukam Mahfud MD.
Sementara itu, Ketua Tim Kajian UU ITE Kemenko Polhukam, Sugeng Purnomo mengatakan, hasil kesimpulan ini merupakan konsep yang diusulkan oleh tim. Dia menegaskan, bahwa hasil ini dibuka dengan harapan mendapat berbagai masukkan untuk perbaikannya.
“Kalau misalnya masuk di dalam Prolegnas Prioritas dan kita lakukan pembahasan setelah revisinya bisa diterima, maka akan ada tahapan-tahapan berikutnya yaitu pembahasan di antara Kementerian dan Lembaga, kemudian kita akan mengundang berbagai pihak untuk memberikan masukkan,” kata Sugeng Purnomo.
Karenanya, Deputi Koordinasi Bidang Hukum dan HAM Kemenko Polhukam ini kembali menegaskan, bahwa usulan revisi yang disusun oleh tim kajian ini bukan harga mati. Sehingga sangat memungkinkan apabila dilakukan perubahan yang tentu dengan berbagai masukan dan argumentasi.
“Yang pasti tentunya revisi ini dilakukan semata-mata untuk menimbulkan rasa keadilan di masyarakat yang saat ini banyak pihak mengatakan terjadi diskriminasi, tidak adil dan lain-lain,” tutupnya. (Pr/A1)