BicaraIndonesia.id, Surabaya – Tragedi terseretnya sejumlah siswa SMP 7 Kota Mojokerto akibat arus rip di Pantai Drini, Yogyakarta, menjadi pengingat penting bagi masyarakat akan bahaya fenomena ini.
Kesadaran akan arus rip dan cara menghindarinya sangat diperlukan, terutama bagi wisatawan yang gemar bermain air di tepi pantai.
Menanggapi hal ini, Dosen Departemen Teknik Kelautan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Dr. Ir. Wahyudi, MSc, menjelaskan bahwa arus rip terjadi ketika gelombang laut pecah di pantai dan alirannya terdorong kembali ke laut melalui celah energi rendah.
Menurut dia, fenomena ini umum terjadi di pantai berbentuk teluk yang memiliki karakteristik arus rip lebih kuat. “Memang nampak tidak berbuih dan tenang, tapi itu ada arus rip di dalamnya,” ujar Wahyudi dalam siaran tertulisnya dikutip pada Sabtu, 1 Februari 2025.
Wahyudi menekankan bahwa wisatawan perlu mewaspadai area air yang tampak tenang di antara gelombang berbuih, karena itu sering kali menjadi indikasi adanya arus rip. Pantai selatan Jawa, yang berbatasan langsung dengan Samudera Hindia, memiliki potensi tinggi terhadap fenomena ini.
Kecepatan arus rip berkisar 0,85 hingga 1 meter per detik, dengan lebar sekitar 9 hingga 11 meter. Arus ini tidak hanya menarik orang ke tengah laut tetapi juga membawa sedimen dari tepi pantai. Akibatnya, area yang sering mengalami arus rip tampak lebih gelap dan memiliki palung yang dalam.
“Saking cepatnya arus tersebut, juara renang olimpiade sekalipun tidak akan kuat melawan arus rip,” jelas Wahyudi.
Arus rip dapat terjadi kapan saja tanpa musim tertentu dan tidak dapat diprediksi secara pasti. Namun, masyarakat harus lebih waspada saat berada di pantai berteluk atau di tepi tanjung, karena daerah ini memiliki arus rip yang lebih kuat.
Data mencatat bahwa korban akibat arus rip di pantai selatan Jawa terus meningkat dari 2017 hingga 2022, dengan hampir 50 orang meninggal dunia akibat terseret arus ini. “Arus rip tidak bisa dihilangkan, tapi bisa dihindari,” tegas Wahyudi.
Untuk mencegah lebih banyak korban, sosialisasi tentang bahaya arus rip harus digencarkan. Edukasi melalui seminar dan program sekolah sangat penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat.
Selain itu, peningkatan fasilitas keselamatan seperti kapal penyelamat, pelampung, dan penjaga pantai profesional juga diperlukan.
Jika terjebak dalam arus rip, langkah yang harus dilakukan adalah berenang ke samping sejajar dengan pantai, bukan melawan arus secara langsung.
Sebagai penutup, Wahyudi menekankan perlunya sosialisasi lebih masif ke sekolah-sekolah, terutama yang sering memilih pantai sebagai tempat rekreasi dan edukasi. Ia juga mengajak sukarelawan untuk aktif menyebarluaskan informasi mengenai bahaya arus rip.
“Tentunya, pemerintah daerah juga harus turut andil dalam sosialisasi ini,” pungkasnya.
Sosialisasi ini selaras dengan Sustainable Development Goals (SDGs) 13, yaitu aksi mengatasi perubahan iklim.
Selain itu, juga mendukung SDGs 3 tentang kesehatan dan kesejahteraan dengan mengurangi risiko kecelakaan di laut, serta SDGs 11 tentang kota dan komunitas berkelanjutan dengan meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat di daerah pesisir. (*/Hms/B1)