Bicaraindonesia.id – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, terus bergerak cepat menyelesaikan peraturan perundang-undangan turunan pasca diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko serta PP Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan. Kedua PP tersebut merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Perikanan Tangkap, M. Zaini menyatakan, peraturan perundang-undangan turunan berupa peraturan menteri kelautan dan perikanan tengah difinalisasi setelah dilakukan rangkaian pembahasan yang terbuka. Pihaknya juga akan menyusun petunjuk teknis atau petunjuk pelaksanaan sebagai pedoman yang lebih detail untuk implementasi di lapangan.
“Peraturan terbaru ini nantinya akan menjadi pedoman dalam kita bekerja serta menjadi acuan bagi masyarakat kelautan dan perikanan. Penyusunannya dilakukan secara terbuka dengan menerima seluas-luasnya masukan dari berbagai pihak, salah satunya melalui konsultasi publik,” kata M Zaini dalam siaran pers resminya di Jakarta, Selasa (18/5/2021).
Ia berpesan kepada seluruh jajarannya baik di pusat maupun unit pelaksana teknis di daerah agar meningkatkan kinerja dalam menyelesaikan target yang telah ditentukan. Utamanya untuk mendukung salah satu program Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono dalam meningkatkan capaian PNBP perikanan tangkap dan kesejahteraan nelayan.
“Kemarin, Pak Menteri telah memberikan arahan saat halal bi halal lingkup KKP agar sub sektor perikanan tangkap dapat terus digenjot untuk mendukung perekonomian nasional. Peningkatan PNBP ini nantinya akan menyentuh masyarakat luas, sehingga kita harus bersiap menghadapi tantangan ke depannya,” ungkapnya.
Salah satu upaya yang diwacanakan yakni, dalam rangka peningkatan PNBP perikanan tangkap dengan mekanisme pasca produksi. Pelaku usaha tidak lagi membayar pungutan hasil perikanan di depan saat mengurus perizinan, melainkan setelah ikan hasil tangkapan didaratkan di pelabuhan perikanan.
“Tentu saja nominalnya pun akan berbeda karena dihitung dari jumlah ikan yang berhasil di tangkap dan didaratkan. Tiap daerah kemungkinan akan berbeda karena harga jual ikannya pun berbeda, tergantung musim dan lokasi,” ujarnya.
Dengan adanya mekanisme PNBP pasca produksi, pengurusan surat izin penangkapan ikan tidak akan dikenakan biaya. Selain itu keuntungan lainnya setiap kapal perikanan dapat memiliki lebih dari satu lokasi penangkapan ikan di WPPNRI yang berbeda.
Zaini juga menyoroti isu kapal perikanan asing yang kembali bergaung belakangan ini. Ia menekankan tidak ada izin penangkapan ikan kapal asing di perairan Indonesia dan sepenuhnya untuk nelayan Indonesia.
“Kita pastikan, jangankan kapal asing, kapal buatan luar negeripun belum ada yang mendapatkan izin operasi penangkapan ikan di WPPNRI. Kalaupun ada, berarti ilegal dan akan diproses secara hukum,” tegasnya.
Ia mengatakan, klausul kapal asing tertuang dalam UUCK dan dapat melakukan penangkapan ikan di ZEEI sesuai aturan UNCLOS yang telah diratifikasi Indonesia. Sementara berdasarkan PP 27 Tahun 2021, kapal perikanan buatan luar negeri namun berbendara Indonesia akan diberikan izin operasional dengan syarat ketat yang akan diatur dalam peraturan menteri kelautan dan perikanan.
“Setelah diverifikasi ulang, saat ini terdapat 447 kapal buatan luar negeri yang ada di Indonesia. Dapat beroperasi lagi dengan syarat diantaranya harus berbendera Indonesia, wajib menggunakan nakhoda dan awal kapal perikanan dalam negeri, menggunakan alat penangkapan ikan yang sesuai dengan peraturan, mendaratkan ikan hasil tangkapan di dalam negeri dan tidak melakukan transhipment,” tandasnya. (Hms/A1)