Bicaraindonesia.id, Surabaya – Dua kelompok massa yang berbeda pandangan politik, menggelar aksi di depan Gedung Negara Grahadi, Jalan Gubernur Suryo, Surabaya, Jawa Timur, pada Selasa 5 Maret 2024.
Kedua kelompok massa ini sama-sama membawa spanduk dan speaker untuk menyampaikan pernyataan sikap mereka. Sementara puluhan aparat kepolisian disiagakan untuk menghindari bentrok kedua kubu yang berbeda pandangan.
Kelompok yang pertama, mereka mengatasnamakan diri sebagai Aliansi Pemuda-Pemudi Indonesia Bersatu. Kelompok ini menyuarakan dukungan dan apresiasi terhadap pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dan menolak hak angket.
Koordinator (Korlap) Aksi, Kukuh Setya menyatakan bahwa Aliansi Pemuda-Pemudi Indonesia Bersatu menggelar aksi damai sebagai upaya mengajak masyarakat luas. Khususnya kepada Gubernur Jawa Timur untuk mengapresiasi kinerja KPU dan Bawaslu.
Menurut Kukuh, kedua lembaga tersebut sudah bekerja maksimal untuk menyelenggarakan Pemilu 2024 yang adil.
“Kami merasa, suara yang diperoleh pada 14 Februari lalu adalah suara yang betul tumbuh dari suara rakyat,” kata Kukuh, kepada wartawan di sela kegiatan aksi, Selasa 5 Maret 2024.
“Jadi kita mengedukasi khususnya kepada masyarakat Kota Surabaya untuk tetap semangat mendukung siapapun yang bakal menjadi pemimpin Indonesia ke depan,” sambungnya.
Untuk itu, Kukuh menyatakan jika pihaknya menolak terkait wacana hak angket. Sebab, hal itu dinilainya sebagai salah wadah yang seharusnya disampaikan melalui Gakkumdu (Penegakan Hukum Terpadu) dan Mahkamah Konstitusi (MK) apabila ada persengketaan Pemilu.
Hal yang sama juga diutarakan korlap aksi lain, Joko Irawan. Ia mengimbau masyarakat agar tidak terpecah dengan adanya isu kecurangan Pemilu 2024 yang dikeluarkan sekelompok politisi dengan kepentingan tertentu.
“Kami tidak memihak kubu manapun dan hanya mengapresiasi kinerja KPU dan Bawaslu dengan harapan pelaksanaan Pemilu 2024 berjalan lancar,” kata Joko yang karib dipanggil Glewo.
Karena itu, Joko mengimbau agar tidak ada pihak-pihak yang menyebar fitnah soal Pemilu curang. Namun, ia juga menyarankan agar menempuh prosedur hukum jika ada indikasi kecurangan dalam Pemilu.
“Jangan membuat berita hoax dan fitnah bahwa KPU curang. Kalaupun ada kecurangan, silakan gunakan prosedur hukum yang berlaku, jangan hanya karena ketakutan akan hasil quick count sudah menyebarkan isu dan fitnah, tunggu hasil resmi dari KPU,” tegasnya.
Sementara itu, aksi lain digelar oleh kelompok massa gabungan masyarakat, buruh dan mahasiswa. Koordinator aksi, Wawan Leak mengaku ada kegelisahan warga Jawa Timur karena kondisi bangsa yang carut marut dan complicated.
Pihaknya menduga, di negara ini ada kefatalan tata kelola berbangsa dan bernegara, ada pengkhianatan institusi dan konstitusi negara yang dilakukan oleh Presiden Joko Widodo. “Kita tergerak untuk berkumpul bersama menyuarakan kebenaran,” kata Wawan Leak.
Di samping itu, pihaknya juga menduga ada tangan-tangan tidak kelihatan yang dilakukan oleh tirani untuk melanggengkan yang namanya status quo. “Ada sesuatu yang mereka (Pemerintahan Jokowi, red) sembunyikan. Ini yang mesti kita ungkap,” sebut Wawan.
“Hari ini yang kita ingin menyampaikan bahwa demokrasi yang dilakukan oleh rezim barbar ini mesti disudahi,” lanjut dia.
Oleh sebabnya, Wawan Leak menyatakan, pihaknya akan terus mendengungkan gelombang perlawanan ke puluhan kabupaten/kota terhadap kondisi bangsa ini.
“Karena ini betul-betul bukan hanya masalah Pemilu, tapi ada pengkerdilan yang namanya demokratisasi,” ucap Wawan yang mengaku aktivis 80 an ini.
Selain itu, Wawan Leak juga mengaku terpaksa harus turun gunung untuk menjawab tentang kondisi republik yang dinilainya sudah tidak bisa ditoleransi lagi.
“Kami aktivis 80 an gerah dan harus turun gunung untuk menyuarakan kebenaran,” tegas Wawan. ***
Pewarta: Jk
Editorial: A1