DIY, Bicaraindonesia.id – Komunitas-Komunitas Pelestari Seni Budaya Nusantara akan menggelar Sarasehan Nasional Budaya Nusantara di Yogyakarta pada Mei 2020 nanti. Pertemuan ini akan diikuti oleh raja-raja se-Indonesia.
Acara tersebut dilandasi oleh keprihatinan terhadap gempuran modernitas yang mengikis nilai-nilai budaya geneasi muda.
Wakil Gubernur DIY, KGPAA Paku Alam X pun mendukung penuh rencana tersebut. Dukungan tersebut disampaikan Sri Paduka pada saat menerima audiensi Komunitas Pelestari Seni Budaya Nusantara, Jumat (06/12) di Gedhong Pare Anom, Kompleks Kepatihan, Yogyakarta.
Sri Paduka menyampaikan, sudah saatnya kearifan lokal yang merupakan warisan leluhur harus dilestarikan dengan cara menerapkan pada kehidupan sehari-hari.
“Budaya kita mengajarkan segala hal yang bisa diterapkan dalam setiap lini kehidupan. Budaya kita adalah pendidik yang bisa menjadi bekal untuk hidup berdampingan dengan baik,” papar Sri Paduka.
Menurutnya, lemahnya akar budaya yang dimiliki oleh masyarakat, dapat memicu gesekan pada setiap perbedaan. Padahal, hal tersebut tidak perlu terjadi apabila setiap individu memahami dan memegang teguh adat istiadat, budaya dan kearifan lokal peninggalan nenek moyang.
“Harus ada harmoni dan keselarasan dalam masyarakat meskipun banyak perbedaan. Kita analogikan dengan gamelan saja, apabila memiliki bunyi yang sama apakah akan ada keindahan komposisi suara? Tentu tidak. Perbedaan pada gamelan adalah unsur utama harmonisasi dan keselarasan. Ini yang harus kita terapkan,” ungkap Sri Paduka.
Karena itu, Sri Paduka sangat mengapresiasi apa yang Komunitas-Komunitas Pelestari Seni Budaya Nusantara ini gagas. Acara yang nantinya akan digelar di DIY pada Mei mendatang ini diharapkan mampu menghasilkan sesuatu yang positif terhadap kelestarian dan penerapan budaya Indonesia di masyarakat.
“Kita ini lebih dulu menggagas sistem memimpin dengan posisi di depan sebagai contoh, di tengah memberi semangat dan di belakang memberikan dorongan melalui falsafah Tut Wuri Handayani. Itu lebih dulu ada dicetuskan Ki Hajar Dewantara, jauh sebelum ada literasi asing terkait sistem kepemimpinan. Nah, disitulah salah satu kekayaan budaya Indonesia,” papar Sri Paduka.