Bicaraindonesia.id, Surabaya – Kota Surabaya menjadi titik napak tilas pertama dalam Muhibah Budaya Jalur Rempah Tahun 2022. Jalur Rempah bukan hanya kenangan terhadap masa lalu, tetapi juga memiliki arti penting di masa sekarang.
Direktur Jenderal Kebudayaan (Dirjenbud) Hilmar Farid mengatakan bahwa selain sebagai basis dari Kapal Republik Indonesia (KRI) Dewaruci, Surabaya juga merupakan titik lalu lintas perdagangan komoditas rempah di masa lampau.
“Muhibah Budaya Jalur Rempah adalah wujud nyata untuk mengaktualisasi arti penting dari Jalur Rempah bagi kita sekarang ini,” kata Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid melalui siaran persnya di Surabaya, Rabu (1/6/2022).
Masyarakat Indonesia, kata Hilmar, sudah ribuan tahun mengarungi lautan di nusantara ini, menghubungkan titik-titik di seluruh Nusantara dan menjadikan sebuah wilayah.
“Kita mengenal jalur laut yang menghubungkan titik yang satu dengan yang lain sebagai Jalur Rempah, karena rempah memainkan peran begitu penting di masa lalu dalam kehidupan kita,” kata Dirjen Kebudayaan.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan bekerja sama dengan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL), Pemerintah Daerah serta berbagai komunitas budaya menyelenggarakan Muhibah Budaya Jalur Rempah Tahun 2022.
Rencananya Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Anwar Makarim, akan melepas para Laskar Rempah beserta awak KRI Dewaruci mengarungi Jalur Rempah Nusantara pada Rabu, (1/5/2022) sore, di Dermaga Madura Tengah Koarmada II Surabaya, Jawa Timur.
Para Laskar Rempah akan berlayar di atas KRI Dewaruci menelusuri titik-titik jalur rempah Nusantara. Dimulai dari Surabaya, kemudian Makassar, berlanjut ke Baubau dan Buton, lalu ke Ternate dan Tidore, selanjutnya ke Banda Neira, dan ke Kupang. Setelah itu, KRI Dewaruci akan kembali ke Surabaya pada 2 Juli 2022 mendatang.
Pesona Kejayaan Jalur Rempah di Surabaya
Sebagai bagian dari wilayah Kerajaan Majapahit, wilayah Surabaya dahulu menjadi pelabuhan pendamping dan pendukung kegiatan ekonomi pelabuhan era klasik, yakni Tuban dan Gresik.
Komoditas rempah yang berasal dari Maluku dan Banda, diangkut dengan perahu kecil menuju Bubat melalui aliran Sungai Bengawan Solo dan Brantas. Pasar Bubat yang letaknya tidak jauh dari pusat kekuasaan Trowulan, Mojokerto, merupakan wilayah perniagaan utama Kerajaan Majapahit, di mana rempah menjadi salah satu primadona yang diperdagangkan.
Serangkaian kegiatan napak tilas jejak Jalur Rempah dilakukan di Surabaya, yakni di kawasan Kota Tua dan Menara Syahbandar, serta jejak peninggalan Kerajaan Majapahit di Mojokerto sebagai salah satu kerajaan maritim terbesar di Nusantara.
Sebelum berlayar Laskar Rempah berkesempatan menampilkan berbagai pertunjukan budaya berupa teater, musikalisasi puisi, dan senam rempah di Balai Pemuda Surabaya yang bertepatan dengan Hari Ulang Tahun Kota Surabaya ke-729 pada 31 Mei 2022.
Meskipun saat ini sudah tidak menjadi pelabuhan utama, Pelabuhan Rakyat Kalimas yang dibangun pada abad ke-14 masih dinilai penting sebagai pelabuhan tradisional yang menampung perahu pengangkut dari dan menuju Jawa.
Berdampingan dengan Pelabuhan Tanjung Perak, Pelabuhan Rakyat Kalimas sekarang ini masih digunakan para pelayar kecil dan menjadi pelabuhan alternatif bagi nelayan kapal kecil.
Menara Syahbandar saksi bahwa pelabuhan tidak hanya terkait bongkar muat kapal akan komoditas yang akan diperjualbelikan, tetapi juga berperan sebagai ruang pertemuan berbagai budaya yang dibawa oleh para pedagang.
Sementara itu, peran seorang syahbandar menjadi penting dalam mengawasi perdagangan dan kualitas barang secara umum, menentukan pajak, serta menentukan mata uang atau alat tukar yang dapat digunakan dalam perdagangan di wilayah tersebut.
Pasar Pabean yang berlokasi dekat Pelabuhan Kalimas menjadi pusat perkulakan rempah-rempah dan bumbu dapur. Dari Pasar Pabean, rempah masuk ke pedalaman Jawa bagian timur dan menyebrang ke Madura serta ikut mewarnai karakter kebudayaan Jawa Timur yang sangat beragam. Sejak dibangun pada tahun 1849, hingga hari ini Pasar Pabean masih eksis menjalankan perannya sebagai pasar rempah-rempah.
Jejak Jalur Rempah lainnya di Surabaya masih terlihat jelas di area Jalan Panggung, Kapasan, dan Kembang Jepun yang di masa lampau merupakan sentra dagang bongkar muat dan wilayah peradaban pertemuan berbagai bangsa, seperti Arab, India, dan Tiongkok.
Dirjen Kebudayaan menyampaikan, bahwa Muhibah Budaya Jalur Rempah tidak hanya berbicara mengenai kejayaan masa lampau saja, tetapi juga dapat digunakan untuk memantik diskusi dan memunculkan ide-ide besar untuk masa depan. Kegiatan ini diharapkan dapat mempertemukan kembali hubungan dan sejarah antarbudaya di masa lalu dengan budaya masa kini.
“Jalur Rempah bukan hanya perdagangan rempah semata, tetapi juga terjadi pertukaran budaya. Kita berharap para Laskar Rempah dapat menghidupkan kembali pertukaran dan pergaulan budaya seperti yang terjadi ribuan tahun lalu melalui Jalur Rempah,” tutupnya. (Hms/B1)