Bicaraindonesia.id – Cerita ini merupakan kisah nyata yang dialami oleh salah satu awak redaksi sekitar sembilan tahun yang lalu.
Saat itu, awak redaksi masih menjadi jurnalis di salah satu perusahaan media cetak. Kala itu, ia berkesempatan untuk mengikuti kegiatan salah satu komunitas klenik di Jawa Timur.
Komunitas ini biasa observasi ke tempat-tempat yang terbilang angker untuk melakukan penarikan benda-benda gaib, seperti keris dan batu-batu akik.
Malam itu, komunitas ini berencana melakukan penarikan benda pusaka yang berlokasi di salah satu area Kampus Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Surabaya.
Waktu pun telah menunjukkan pukul 11 malam dan tim bersiap-siap untuk berangkat ke lokasi tujuan.
Tim ini terdiri dari 10 orang dan terbagi menjadi dua kelompok. Masing-masing kelompok, beranggotakan lima orang.
Kelompok pertama berangkat menggunakan mobil. Sementara kelompok kedua, berboncengan menggunakan sepeda motor. Sekitar pukul 12 malam, akhirnya sampailah tim di lokasi yang dituju.
Malam pun semakin larut, hanya cahaya rembulan yang menerangi suasana tempat itu. Sebelumnya semua anggota tim sadar, ketika memasuki lokasi, terlihat sebelah kiri dan kanan hanya ada pepohonan dan tumbuhan ilalang.
Tanpa membutuhkan waktu lama, mereka segera bergegas untuk memulai ritual penarikan benda pusaka. Bunga tujuh rupa, dupa, hingga minyak apel jin pun telah mereka siapkan.
Syarat-syarat itu pun ditata dan ditaruh di tempat yang sudah dipilih sebelumnya. Tak lama kemudian, benda pusaka berupa keris yang diinginkan telah didapat dan tim berencana untuk langsung kembali pulang.
Akhirnya mereka kemudian bergegas meninggalkan lokasi penarikan benda pusaka itu.
Namun ternyata, setelah beberapa jengkal melangkahkan kaki, mereka melihat adanya warung atau tempat makan. Letaknya pun tak jauh dari lokasi mereka saat melakukan penarikan benda pusaka.
Tapi uniknya, kondisi warung itu terlihat seperti warung kopi zaman dahulu (vintage). Tembok bangunan warung itu hanya menggunakan bambu dengan atap yang terbuat dari ilalang. Bahkan, untuk penerangan cahaya, hanya menggunakan sebuah lampu templok.
Karena sebelum berangkat mereka belum sempat makan, salah satu dari anggota komunitas, sebut saja Ari, pun nyeletuk. “Eh.. ada warung, ayo kita makan dulu,” kata Ari.
Namun, salah satu rekan anggota lain yang peka terhadap hal-hal gaib pun menyebut. “Warung setan itu,” katanya.
Beberapa aggota komunitas ini pun tidak serta merta percaya bahwa rumah makan itu adalah warung gaib atau warung jin. Sebab, warung itu jelas-jelas terlihat secara kasat mata oleh mereka semua.
Karena tidak mau ribut, akhirnya empat orang anggota yang tidak percaya bersama awak redaksi memutuskan untuk singgah dan makan sebentar di warung itu. Sementara yang lima orang lain, memilih untuk kembali pulang.
Pada awalnya, awak redaksi heran, sebab warung itu kondisinya buka, namun terlihat tidak ada yang jaga. Bahkan, setelah beberapa kali dipanggil, tapi tak kunjung juga keluar pemilik warung itu.
Alangkah kagetnya, tiba-tiba saja muncul tepat dihadapan mereka seorang nenek tua dari balik meja warung. Nenek tua itupun spontan bertanya ke mereka. “Onok opo le? (Ada apa nak?),” tanya nenek tua itu.
Mereka pun dibuat kaget dengan kehadiran nenek itu yang secara tiba-tiba muncul. “Mbah jual nasi gak, mbah?,” tanya awak redaksi kepada nenek itu.
Nenek tua itupun lantas menjawab. “Nasinya wes entek le, kari mie (nasinya sudah habis nak, tinggal mie instan),” jawab nenek itu.
Karena merasa lapar, awak redaksi bersama empat orang lain memutuskan untuk pesan mie instan. “Nggih mbah, mboten nopo-nopo, pesen gangsal mangkok mie yo mbah (iya mbah, tidak apa-apa pesan lima mangkok mie ya),” kata anggota lain kepada nenek pemilik warung tersebut.
Malam itu, di warung cuma ada camilan berupa gorengan tahu dengan ukuran besar. Namun menurut salah satu rekan yang sudah makan, ternyata tahu itu rasanya agak basi dan berbau.
Setelah menunggu lima menit, akhirnya mie instan buatan si nenek itupun telah jadi dan siap dihidangkan. Karena merasa lapar, mereka berlima langsung menyantap mie instan itu dengan lahap.
Tiba-tiba saja nenek tua itu kemudian bertanya ke mereka. “Nak sampeyan niki menungso ta? (Nak kalian ini manusia ta),” kata nenek itu.
“Yo nggih mbah, menungso (iya nek, manusia),” jawab salah satu rekan.
“Nek njenengan mbah? (Kalau anda mbah),” celetuk awak redaksi.
Nenek itupun sempat terdiam sejenak, kemudian menjawab. “Mbah yo menungso nak (Nenek ya manusia nak),” jawab nenek itu.
Mereka berlima pun tidak tahu bahwa dibalik pertanyaan si nenek tersebut, ada maksud untuk menegaskan bahwa kenapa manusia bisa menembus alam dunianya.
Setelah selesai makan, mereka pun sejenak mengobrol dengan nenek itu. Si nenek juga bercerita, jika dia menjaga warung tidak sendirian. Dia ditemani dengan putrinya yang ceritanya cantik jelita dan belum menikah. Tapi, kata si nenek, putrinya membantu menjaga warung hanya saat pagi hingga sore hari.
Karena penasaran dengan putri si nenek, salah satu anggota tim, sebut saja Ari, ingin berkenalan dengan putri si nenek itu. Bahkan, nenek itupun juga memberi peluang kepada Ari untuk berkenalan dengan anaknya, yang katanya cantik jelita.
Setelah membayar makanan dan mengobrol santai dengan si nenek, akhirnya mereka berlima memutuskan untuk kembali pulang ke rumah masing-masing.
Singkat cerita, siang harinya, Ari berencana pergi sendiri ke lokasi warung itu. Ari memang tertarik dan penasaran ingin berkenalan dengan putri pemilik warung (si nenek) yang katanya dibilang cantik dan belum menikah.
Tapi, alangkah kagetnya. Ternyata yang dia cari tidak ada. Saat tiba di lokasi, ia hanya menemukan sebuah tempat pembuangan sampah yang kotor dan tidak terpakai lagi.
Waktu itu juga, dia langsung informasikan ke rekan-rekan lainnya, dan mereka semua pun juga kaget. Akhirnya semuanya baru tersadar, jika semalam ternyata mereka singgah dan makan di warung gaib.