Bicaraindonesia.id – Bertepatan di Hari Obesitas Sedunia, 4 Maret 2022, UNICEF mengingatkan masyarakat akan pentingnya menjadikan pola makan yang sehat sebagai bagian dari pemulihan COVID-19.
Hal ini memperhatikan kenaikan angka orang yang mengalami kelebihan berat badan dan obesitas di Indonesia. Khususnya pada kelompok masyarakat dan rumah tangga miskin.
Di Indonesia, UNICEF menyebut, akses yang makin mudah dan biaya yang makin terjangkau atas makanan tidak sehat yang tinggi lemak, gula, dan garam adalah penyebab utama malnutrisi.
Riset Kesehatan Dasar tahun 2018 memperkirakan satu dari lima orang dewasa, satu dari lima anak berusia 5-12 tahun, dan satu dari tujuh remaja berusia 13-18 tahun di Indonesia, mengalami kelebihan berat badan atau obesitas.
Tren ini diperparah oleh pandemi COVID-19. Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat menyulitkan akses anak dan remaja ke makanan sehat, ataupun untuk tetap aktif secara fisik.
Survei tahun 2020 yang dilaksanakan terhadap rumah tangga berpendapatan rendah di kawasan perkotaan Jakarta menemukan bahwa makanan bergizi, seperti buah dan sayur, daging sapi dan ikan, serta kacang-kacangan yang dikonsumsi anak-anak selama pandemi lebih sedikit dibandingkan tahun 2018.
“Ada jutaan anak yang menyantap makanan yang salah dan ini tidak sejalan dengan hak mereka untuk mendapatkan gizi yang cukup, selain dapat mengakibatkan konsekuensi kesehatan yang berat dan berjangka panjang,” kata Perwakilan Sementara UNICEF Robert Gass melalui siaran pers tertulis yang diterima Bicaraindonesia.id, Jumat (4/3/2022)
“Namun, dengan kebijakan dan program yang tepat, para pengambil keputusan dan pelaku usaha bisa mengubah mutu pilihan makanan bagi anak dan memastikan agar makanan yang aman, sehat, dan terjangkau tersedia untuk semua orang,” sambungnya.
Kondisi kelebihan berat badan dan obesitas memiliki konsekuensi berat terhadap anak. Termasuk diabetes dini dan tekanan darah yang tinggi, masalah psikososial terkait stigma dan perundungan oleh anak lain, serta capaian pembelajaran yang lebih rendah.
Anak-anak dengan berat badan berlebih dan yang mengalami obesitas, juga lebih berisiko mengalami berbagai bentuk penyakit tidak menular namun mengancam nyawa saat dewasa kelak. Misalnya, penyakit jantung, stroke, dan beberapa jenis kanker.
Kondisi-kondisi tersebut juga memiliki implikasi ekonomi dalam bentuk biaya kesehatan langsung yang harus ditanggung keluarga untuk pengobatan dan perawatan di fasilitas kesehatan. Bentuk lainnya adalah peningkatan beban finansial pada sistem kesehatan.
Dampak dari penyakit tidak menular terhadap perekonomian Indonesia diperkirakan dapat mencapai $4,47 triliun, berupa hilangnya keluaran (output) ekonomi dari 2012 hingga 2030.
Karena itu, UNICEF menyerukan agar semua pihak, pemerintah pusat dan daerah, masyarakat sipil, dan pelaku sektor swasta bersama-sama memprioritaskan kebijakan dan program untuk menjamin hak anak mendapatkan gizi yang layak selama dan setelah pandemi.
Kebijakan dan program ini, menurut UNICEF, dapat dilakukan dengan mengakhiri pemasaran makanan tidak sehat yang ditujukan kepada anak dan menghentikan klaim kesehatan yang keliru untuk produk yang faktanya tidak sehat.
Kemudian, memberikan label kandungan gizi yang jelas dan mudah dipahami pada kemasan produk untuk menunjukkan kandungan tidak sehat pada makanan. Sehingga memudahkan keluarga untuk membuat pilihan yang sehat.
Selanjutnya, merumuskan langkah fiskal, seperti pajak atas makanan dan minuman yang tidak sehat sehingga daya tariknya berkurang di mata konsumen. Serta menerapkan subsidi atau langkah lain untuk membuat makanan sehat lebih terjangkau dibandingkan makanan tidak sehat.
Dan terakhir, meminta perusahaan makanan agar bertanggung jawab. Juga, memastikan perusahaan memiliki opsi produk yang lebih sehat dan lebih terjangkau, sekaligus menghapus dan menghentikan promosi produk tidak sehat. (SP/A1)