Bicaraindonesia.id – Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menempatkan bahasa sebagai instrumen penting dalam upaya penanggulangan terorisme. Penggunaan bahasa yang tepat sasaran dapat membuat program kontra narasi, propaganda dan ideologi di media sosial bisa berjalan dengan berhasil.
Hal ini disampaikan, perwakilan Direktorat Pencegahan BNPT, Plt Kasubdit Pengawasan Faizal Yan Aulia dalam sebuah acara daring bertajuk “Terorisme dalam Sudut Pandang Bahasa dan Hukum”, Selasa (27/7/2021).
“Bahasa memilki peran sentral. Bahasa merupakan instrumen dan alat utama dalam mengcounter bahasa-bahasa yang digunakan teroris untuk menyebarkan paham intoleransi, radikalisme dan terorisme,” kata Faizal sebagaimana dilansir dalam laman resmi BNPT, Minggu (15/8/2021).
Menurut Faizal, dalam menanggulangi terorisme, bahasa yang digunakan harus dapat membungkus ide-ide perdamaian dan moderasi agama yang mampu memicu ego dan emosi anak muda. Narasi yang disusun juga harus menggunakan bahasa yang menarik agar mencuri perhatian anak muda.
“Harus dapat membahasakan ide-ide anti radikalisme dan terorisme dengan bahasa – bahasa yang menarik. Konteks bahasa tersebut juga harus disesuaikan dengan audience sehingga tepat sasaran,” katanya.
Dari segi intensitas, penggunaan bahasa juga harus dilihat apakah hal tersebut sudah tepat atau belum. Faizal mencontohkan, pengunaan bahasa berulang-ulang yang menarasikan tindak kekerasan terorisme justru bisa kontra produktif dengan upaya penanggulanan terorisme.
“Intensitas penggunaan bahasa yang berulang-ulang dan tidak tepat bisa saja membuat masyarakat khususnya anak muda malah jadi salah pemahaman karena bertanya dan mencari sumber jawaban dari sumber yang salah,” katanya.
Sementara itu, Kasubdit Penyidikan Densus 88 Anti Teror, AKBP Imam Subandri, menyebut selama ini para teroris memang sengaja menggunakan bahasa atau jargon-jargon agama dalam melakukan propaganda. Propaganda tersebut kemudian dibingkai menggunakan bahasa halus dan disesuaikan dengan target pembaca.
“Semua propaganda tidak terang-terangan menggunakan bahasa kekerasan, tapi pakai framing dengan penggunaan bahasa agama yang terlihat sakral padahal dibajak untuk kepentingan propaganda teroris,” jelasnya.
Dalam konteks yang lebih luas, menurut Imam, para teroris menggunakan bahasa dalam menyisipkan narasi kebencian terhadap pihak berwajib yang selama ini telah bekerja keras bersama BNPT menanggulangi terorisme.
“Saat penangkapan terorisme, banyak narasi yang menyebar yang menyudutkan pihak berwajib. Narasi tersebut, yang bisa menciptakan Self-radicalisation,” katanya. (A1)