Bicaraindonesia.id, Tangerang Selatan – Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkuat kolaborasi nasional dalam pengelolaan lingkungan hidup, mitigasi bencana, dan pemanfaatan data iklim melalui Rapat Koordinasi Tata Lingkungan yang diinisiasi Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Selasa (25/11/2025).
Dalam kesempatan yang sama, ketiga lembaga menandatangani nota kesepahaman (MoU) sebagai fondasi kerja sama jangka panjang terkait penyediaan dan pemanfaatan data lingkungan, spasial, dan informasi meteorologi, klimatologi, serta geofisika.
Kepala BMKG, Teuku Faisal Fathani, menyampaikan MoU ini menjadi langkah penting untuk menyatukan kekuatan data dan analisis di antara lembaga pemerintah.
“Penandatanganan nota kesepahaman ini menjadi langkah penting dalam memperkuat kolaborasi data, informasi, dan analisis lingkungan hidup, termasuk data MKG yang selama ini menjadi basis berbagai kebijakan pembangunan,” ujar Faisal dalam pernyataan persnya dikutip pada Rabu (26/11/2025).
Faisal menjelaskan BMKG tidak hanya berperan dalam memberikan informasi cuaca, peringatan dini cuaca ekstrem, atau gempa bumi, tetapi juga menyediakan data dasar untuk banyak sektor strategis.
BMKG mengelola data historis puluhan tahun yang sangat penting untuk pertanian, energi, kesehatan, hingga infrastruktur. Mulai dari data hujan dan kebasahan tanah untuk menentukan musim tanam, hingga data radiasi matahari dan angin untuk memetakan lokasi potensial pembangkit energi surya dan bayu.
Di bidang sumber daya air, BMKG terus mendukung upaya pemerintah melalui operasi modifikasi cuaca, baik untuk mengisi bendungan menjelang kemarau, mengurangi potensi karhutla, maupun mengendalikan risiko longsor di daerah rawan.
Pada sektor kesehatan, BMKG bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan untuk memprediksi potensi peningkatan kasus demam berdarah berdasarkan parameter iklim, yang kini telah diterapkan di DKI Jakarta, Bali, dan Yogyakarta.
Faisal menegaskan penguatan kolaborasi lintas lembaga menjadi kunci untuk memperkuat implementasi analisis risiko iklim dan kebencanaan.
Ia mencontohkan inisiatif Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Barat mengalokasikan APBD untuk membangun radar cuaca di Cekungan Bandung sebagai bentuk kesadaran daerah terhadap pentingnya data meteorologi.
“Ini menunjukkan bahwa penguatan sistem informasi cuaca dan iklim bukan hanya tugas pusat, tetapi tanggung jawab bersama,” katanya.
Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG), Muhammad Aris Marfai, menambahkan penyelarasan data spasial nasional menjadi kunci agar kebijakan tata ruang tidak tumpang tindih.
BIG menyediakan Informasi Geospasial Dasar, sedangkan kementerian/lembaga menghasilkan peta tematik seperti peta mangrove, kekeringan, dan peta gempa.
“Melalui kerja sama ini, pemanfaatan data geospasial dapat mendukung Satu Data Indonesia sehingga potensi tumpang tindih penggunaan lahan bisa kita kurangi,” ujarnya.
Ia menyoroti bahwa banyak kawasan hutan, tambang, atau mangrove di Indonesia yang masih memiliki tumpang tindih fungsi, sehingga dibutuhkan kolaborasi data yang kuat untuk menyelesaikan persoalan tersebut secara bertahap.
Sementara itu, Menteri Lingkungan Hidup/Kepala BPLH, Hanif Faisol Nurofiq, menekankan bahwa KLHK membutuhkan dukungan besar dalam penyediaan dan pengolahan data spasial karena jumlah pejabat fungsional pemetaan saat ini masih sangat terbatas.
Ia menegaskan perlunya interoperabilitas data dengan BMKG, terutama dalam pengelolaan kawasan hidrologis gambut (KHG), yang memerlukan kelembapan tanah sebagai indikator utama potensi kebakaran.
“Data dari BMKG menjadi rujukan penting dalam perencanaan hidrologi gambut karena tingkat air menentukan seberapa besar potensi kebakarannya,” tandasnya. (*/Pr/A1)


