Bicaraindonesia.id, Jakarta – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menetapkan Banda Neira sebagai kawasan model integrasi antara konservasi laut, arkeologi, dan budaya maritim.
Melalui program Laut untuk Kesejahteraan (LAUTRA), wilayah bersejarah di Maluku Tengah itu diproyeksikan menjadi laboratorium ekonomi pesisir yang menggabungkan keseimbangan ekologi, ekonomi, serta sosial budaya masyarakat pesisir.
Banda Neira dinilai menjadi contoh konkret bagaimana konservasi laut dapat berjalan beriringan dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan KKP, Koswara, menjelaskan bahwa program LAUTRA menempatkan Banda Neira sebagai kawasan prioritas nasional karena kekayaan ekosistem lautnya yang unik, serta nilai sejarah dan budaya yang tinggi.
“Kami ingin membangun model pengelolaan laut yang tidak hanya lestari, tetapi juga mensejahterakan,” ujar Koswara dalam keterangan tertulis di Jakarta dikutip pada (29/10/2025).
Sebagai bagian dari rangkaian Bulan Bakti Kelautan dan Perikanan dalam rangka HUT ke-26 KKP, telah digelar talk show bertajuk “Pilar Ekonomi Berkelanjutan Masyarakat Pesisir Banda Neira: Integrasi Arkeologi dan Budaya Maritim” di Auditorium Soe Hok Gie, Universitas Indonesia, Selasa (21/10/2025).
Kegiatan tersebut mempertemukan berbagai pemangku kepentingan, akademisi, pemerintah, dan masyarakat, untuk membangun arah baru pengelolaan sumber daya laut berbasis warisan budaya dan keberlanjutan ekonomi.
Program LAUTRA sendiri mencakup 11 provinsi, 20 kawasan konservasi, dan 3 Wilayah Pengelolaan Perikanan, dengan total area mencapai 8,3 juta hektare.
Melalui empat komponen utama, penguatan kelembagaan konservasi, pembangunan ekonomi lokal, pembiayaan berkelanjutan (blue financing), dan manajemen proyek terpadu, KKP menargetkan lebih dari 75 ribu penerima manfaat langsung, termasuk 30 persen kelompok perempuan pesisir.
KKP menilai Banda Neira sebagai pusat pengembangan ekonomi pesisir berkelanjutan yang memadukan keunggulan alam dan budaya. Bersama mitra akademik, KKP mengembangkan lima pilar utama untuk memperkuat daya saing kawasan tersebut.
Kelima pilar itu meliputi diversifikasi ekowisata bertema sejarah dan bahari, pembentukan koperasi wisata maritim, pembangunan infrastruktur ekonomi lokal seperti dermaga wisata dan museum budaya laut, hingga pelatihan masyarakat menjadi storyteller dan pemandu wisata budaya bersertifikat.
Direktur Jasa Bahari Ditjen Pengelolaan Kelautan KKP, Enggar Sadtopo, menjelaskan pendanaan program dilakukan melalui tiga skema hibah. Mulai dari micro grant Rp150 juta hingga matching grant Rp1,25 miliar untuk mendukung UMKM biru yang ramah lingkungan.
“Kami ingin memastikan ekonomi tumbuh tanpa merusak laut,” tegas Enggar. (*/Pr/A1)


