Bicaraindonesia.id – Komisi D DPRD Kota Surabaya menggelar hearing bersama Dinas Kesehatan (Dinkes), Badan Perencanaan dan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya serta Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia (Persi) Jawa Timur melalui video teleconference (vidcon) pada Kamis (14/5/2020).
Hearing tersebut membahas terkait penanganan pasien Covid-19 di Kota Surabaya. Terutama dalam menyediakan kebutuhan ruang isolasi di rumah sakit rujukan yang saat ini mengalami overload.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Komisi D DPRD Kota Surabaya, Ajeng Wira Wati, mendorong Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Surabaya agar ke depan penanganan Covid-19 bisa lebih simple atau sederhana.
“Kami ingin meminta Gugus Tugas Covid-19 itu lebih memberikan skema penanganan Covid-19 yang lebih sederhana atau simple,” kata Ajeng saat dihubungi, Jum’at (15/5/2020).
Anggota Fraksi Partai Gerindra DPRD Kota Surabaya ini menjelaskan, misalnya pasien Covid-19 yang tidak memiliki gejala seperti sesak nafas atau batuk, maka lebih baik diarahkan melakukan isolasi di rumah. Tapi, mereka tetap dilakukan pemantauan oleh tim kesehatan. Hal ini untuk menghindari ruang isolasi di rumah sakit rujukan mengalami overload.
“Ketika tidak ada indikasi yang mengarah ke gejala Covid-19, maka orang tersebut lebih baik dirawat atau melakukan isolasi di rumah. Tujuannya, agar rumah sakit tidak sampai overload,” kata dia.
Namun sebenarnya, kata Ajeng, Ketua Persi Jatim, dr Dodo Anondo kemarin menyatakan, bahwa overload di rumah sakit rujukan tidak hanya disebabkan banyaknya pasien Covid-19. Tapi overload ini juga dikarenakan pasien dengan bermacam-macam penyakit komplikasi.
“Jadi overload yang ada di rumah sakit Surabaya itu tidak hanya karena pasien Covid-19,” ungkap dia.
Maka dari itu, pihaknya mendukung saran dari Persi Jatim, bahwa untuk membantu rumah sakit dan juga penanganan Covid-19, sebaiknya dibikin skema penanganan Covid-19 yang lebih simple atau sederhana.
“Karena kan sekarang angka positif Covid-19 sudah hampir 900 lebih, dan Persi Jatim menyarankan agar penanganan Covid-19 fokus pada kuratif,” paparnya.
Oleh sebab itu, perempuan berkerudung ini sangat setuju jika pasien yang berstatus OTG (orang tanpa gejala) Covid-19, atau mereka yang belum butuh penanganan serius sebaiknya melakukan isolasi di rumah. Akan tetapi, skema penanganan juga harus difokuskan ketika pasien itu melakukan isolasi di rumah.
“Jika memang dia tidak ada sesak nafas atau gejala Covid-19, diharapkan tidak (isolasi) di rumah sakit. Namun, jika dia membutuhkan ventilator (alat bantu nafas) baru diarahkan isolasi ke rumah sakit,” tambahnya.
Apalagi, Ajeng mengungkapkan, terkait dengan pembiayaan BPJS sendiri untuk pasien Covid-19 juga masih ada kendala. Bagi mereka yang dinyatakan positif Covid-19, sudah bisa tercover, tapi untuk PDP (pasien dalam pengawasan) belum tercover secara keseluruhan dan masih tergantung dari penilaian tim dokter. Selain itu, kendala lain yang muncul adalah banyak rumah sakit yang belum terbayar klaimnya.
“Karena BPJS sendiri ada juga permasalahan yang harus diperhatikan, dan banyak rumah sakit yang belum dibayarkan klaimnya. Karenanya, kami ingin meminta gugus tugas itu lebih memberikan skema penanganan Covid-19 lebih sederhana atau simple,” tutupnya.
Laporan: R1
Editorial: A1