Bicaraindonesia.id, Surabaya – Penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 5 persen pada 18 Maret 2025 yang memicu trading halt menjadi perhatian berbagai pihak, termasuk kalangan akademisi.
Wakil Dekan Fakultas Desain Kreatif dan Bisnis Digital Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Dr. Muhammad Saiful Hakim, SE, MM, PhD, menilai bahwa penurunan tajam ini tidak hanya mengejutkan pasar, tetapi juga berdampak signifikan terhadap perekonomian nasional.
Menurut peneliti di bidang Manajemen Keuangan tersebut, IHSG merupakan indikator penting bagi stabilitas ekonomi karena mencerminkan tingkat kepercayaan investor terhadap pasar modal.
Jika indeks anjlok, perusahaan akan mengalami kesulitan dalam memperoleh pendanaan untuk ekspansi bisnis, sementara investor cenderung lebih berhati-hati dalam menanamkan modalnya.
Pelemahan IHSG juga mendorong investor untuk menarik dananya serta beralih ke aset yang lebih aman. Jika aksi jual terjadi secara masif, tekanan di pasar modal akan semakin besar dan berpotensi memperlambat pertumbuhan ekonomi.
“Pasar modal yang sehat memungkinkan perusahaan memperoleh pendanaan untuk ekspansi bisnis,” ujar Saiful dalam siaran tertulisnya dikutip Bicaraindonesia.id pada Minggu (23/3/2025).
Saiful, yang juga aktif di Laboratorium Business Analytic and Strategy ITS, menjelaskan bahwa penurunan IHSG kali ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik domestik maupun global.
Salah satu pemicu utama adalah penurunan peringkat investasi Indonesia oleh Goldman Sachs. Kondisi ini menyebabkan investor asing mengurangi eksposur mereka di pasar modal Indonesia, sehingga memicu aksi jual saham dalam jumlah besar yang semakin menekan IHSG.
Selain itu, kata dia, isu pergantian Menteri Keuangan RI turut memperburuk sentimen pasar. Ketidakseimbangan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) juga meningkatkan kekhawatiran investor.
Akibatnya, kepercayaan pasar melemah dan investor cenderung menarik modalnya. “Sebagian besar aksi jual dilakukan oleh investor asing,” tambah Saiful.
Penurunan IHSG tidak hanya berdampak pada investor, tetapi juga memengaruhi stabilitas ekonomi nasional. Aliran modal keluar (capital outflow) dalam jumlah besar meningkatkan permintaan terhadap dolar AS, yang berpotensi melemahkan nilai tukar rupiah. Jika tekanan ini berlanjut, daya beli masyarakat juga bisa terdampak.
Ketidakstabilan di pasar modal turut berimbas pada sektor riil, terutama dalam hal investasi. Perusahaan yang mengalami kesulitan mendapatkan pendanaan cenderung menunda ekspansi bisnis.
Jika situasi ini berlangsung lama, risiko pemutusan hubungan kerja (PHK) pun meningkat, yang pada akhirnya memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Meskipun peristiwa seperti ini jarang terjadi, Saiful menekankan pentingnya memahami apakah penurunan IHSG kali ini hanya shock sementara atau akan berlangsung dalam jangka panjang.
Jika kondisi ini hanya reaksi sesaat, pasar diperkirakan akan segera pulih. Namun, jika tekanan berlanjut, dampaknya terhadap perekonomian bisa semakin serius. “Investor perlu mencermati tren pasar sebelum mengambil keputusan,” ujarnya.
Sebagai langkah mitigasi, Bursa Efek Indonesia (BEI) telah menerapkan kebijakan buyback saham tanpa izin pemegang saham. Kebijakan ini memungkinkan perusahaan untuk membeli kembali sahamnya guna menjaga stabilitas harga.
Selain itu, pemerintah perlu memastikan kebijakan fiskal yang lebih meyakinkan agar kepercayaan investor tetap terjaga.
Lulusan doktoral dari National Yunlin University of Science and Technology, Taiwan, tersebut juga menyarankan agar investor menyesuaikan keputusan jual atau tahan saham dengan tujuan keuangan masing-masing. Jika investasi bersifat jangka panjang, mempertahankan saham bisa menjadi pilihan lebih baik.
Namun, bagi mereka yang membutuhkan dana dalam waktu dekat, menjual dengan risiko kerugian perlu dipertimbangkan. “Keputusan terbaik bergantung pada kondisi pasar dan strategi keuangan investor,” tutur Saiful.
Dalam beberapa bulan ke depan, prospek pemulihan IHSG masih bergantung pada respons investor asing terhadap kondisi ekonomi global serta kebijakan pemerintah.
Saiful menilai bahwa kepastian dalam kebijakan fiskal dan regulasi pasar akan menjadi faktor utama dalam menarik kembali modal yang keluar.
“Jika kondisi fiskal dan regulasi pasar dapat memberikan kepastian, arus modal asing bisa kembali, dan IHSG berangsur pulih,” tutupnya. (*/Pr/C1)