Bicaraindonesia.id, Surabaya – Tantangan dunia pendidikan semakin kompleks, terutama dalam menyesuaikan metode pembelajaran dengan kebutuhan setiap mahasiswa.
Menjawab tantangan tersebut, Dr. Imamah SKom MKom, seorang doktor baru lulus dari Departemen Teknik Elektro Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), berhasil mengembangkan model Ant Colony Optimization – Item Response Theory (ACOIRT).
Model ini memanfaatkan kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) untuk personalisasi jalur pembelajaran.
Pada Sidang Terbuka Promosi Doktor Departemen Teknik Elektro ITS, Selasa (25/2/2025) lalu, Imamah menjelaskan bahwa metode pembelajaran konvensional tidak mempertimbangkan perbedaan kecepatan belajar di antara mahasiswa.
Dalam sistem ini, mahasiswa yang cepat memahami materi harus menunggu, sementara yang lebih lambat kesulitan mengejar.
“Dengan model berbasis AI ini, setiap mahasiswa dapat belajar sesuai dengan ritme mereka sendiri, tanpa harus terhambat oleh sistem pembelajaran yang seragam,” ungkap Imamah melalui siaran tertulisnya dikutip pada Minggu (2/3/2025).
Imamah menekankan bahwa penelitian ini menggunakan pendekatan berbasis AI yang menggabungkan algoritma Ant Colony Optimization (ACO) dengan Item Response Theory (IRT).
ACO meniru perilaku semut dalam mencari jalur terbaik, sementara IRT memprediksi kemampuan siswa dengan akurat dan mengatasi masalah tebak jawaban pada pretest pilihan ganda.
“Kombinasi kedua metode ini memungkinkan sistem untuk merekomendasikan materi yang lebih sesuai dengan kebutuhan setiap mahasiswa,” jelasnya.
Sebagai jawaban atas tantangan personalisasi pembelajaran, sistem ACOIRT yang dikembangkan telah diuji pada mahasiswa yang mengambil mata kuliah Struktur Data. Hasil uji coba menunjukkan peningkatan performa pembelajaran mahasiswa sebesar 60,8 persen hingga 127,8 persen.
“Dengan pendekatan ini, mahasiswa memperoleh jalur pembelajaran yang lebih efektif dibandingkan dengan metode pembelajaran konvensional,” tambah Imamah.
Selain itu, Imamah menambahkan bahwa sistem ini juga mempertimbangkan faktor psikologis mahasiswa dengan menjaga motivasi mereka. Dengan memberikan materi yang sesuai dengan tingkat kemampuan individu, mahasiswa tidak akan merasa bosan atau kewalahan.
“AI ini bertindak sebagai pendukung dalam pembelajaran, bukan pengganti dosen atau sistem pendidikan konvensional,” ujar Imamah, yang juga berhasil melakukan publikasi artikel di CIVEMSA, China.
Untuk memastikan efektivitasnya, model ACOIRT dikembangkan melalui beberapa tahapan. Dimulai dengan pengumpulan data mahasiswa, pemetaan tingkat kesulitan materi, hingga pengujian dengan berbagai skenario.
Model ini juga mengatasi tantangan utama dalam evaluasi pembelajaran, yaitu fenomena tebak jawaban dalam soal pilihan ganda, dengan memberikan rekomendasi materi berdasarkan data pemahaman yang lebih komprehensif.
Berdasarkan hasil penelitian ini, metode ACOIRT dinilai memiliki potensi besar untuk diterapkan dalam sistem pendidikan berbasis digital. Model ini juga dapat dikembangkan lebih lanjut untuk sistem pembelajaran berbasis kompetensi atau pelatihan profesional yang membutuhkan jalur pembelajaran yang dinamis.
Penelitian ini sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs), khususnya pada tujuan ke-4, yaitu kualitas pendidikan. Dengan memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan, sistem ini mampu memberikan akses pembelajaran yang lebih inklusif dan berkualitas bagi semua mahasiswa.
Pendekatan ini membantu mengurangi kesenjangan pendidikan dan memberi setiap individu kesempatan untuk belajar secara optimal.
Inovasi ini semakin memperkuat posisi ITS sebagai kampus teknologi yang terus berinovasi dalam dunia pendidikan.
“Ke depannya, pendekatan ini bisa diperluas dengan integrasi machine learning dan ensemble learning untuk meningkatkan akurasi prediksi kemampuan mahasiswa,” pungkas Imamah. (*/Pr/C1)