Bicaraindonesia.id – Amerika Serikat (AS) meluncurkan bom atom pertama 75 tahun lalu pada hari Kamis, (06/08/1945) dalam sebuah serangan dahsyat di Kota Hiroshima. Ribuan orang dinyatakan tewas dalam ledakan dahsyat yang mematikan itu.
Tiga hari kemudian, pada tanggal 9 Agustus, bom atom kedua dijatuhkan di Nagasaki, menewaskan ribuan lainnya dan mendorong Jepang untuk menyerah selama Perang Dunia Kedua. Itu adalah bom nuklir terakhir yang digunakan dalam konflik bersenjata.
6 Agustus 1945
Bom nuklir pertama di dunia yang digunakan terhadap warga sipil meledak pada pukul 08:15 waktu setempat di kota barat daya Hiroshima.
Bom berjuluk “Little Boy” itu langsung menewaskan 80.000 orang, menurut perkiraan awal. Ini mewakili sekitar 30 persen dari populasi pada saat itu.
Pada akhir tahun 1945, diperkirakan 140.000 orang meninggal. Ribuan lainnya meninggal pada tahun-tahun berikutnya karena cedera terkait radiasi.
B-29 AS “Enola Gay” adalah pesawat perang yang menjatuhkan bom tersebut. Diperkirakan bom itu telah menghancurkan 70 persen kota.
Bom itu dibuat dengan uranium-235, satu-satunya isotop alami fisil uranium. Ledakan itu setara dengan 16 kiloton TNT.
9 Agustus 1945
Pada pukul 11:02 waktu setempat, AS menjatuhkan bom lain yang disebut “Fat Man” di atas Nagasaki.
Ledakan itu setara dengan 21 kiloton TNT. Lebih dari 40 persen kota hancur, dengan 40.000 orang tewas seketika. Jumlah itu meningkat menjadi lebih dari 74.000 korban di bulan-bulan berikutnya.
15 Agustus 1945
Enam hari setelah serangan itu, Jepang mengumumkan niatnya untuk menyerah.
Menteri luar negeri Jepang, Mamoru Shigemitsu, menandatangani dokumen resmi pada 2 September, yang mengakhiri Perang Dunia Kedua.
Kekaisaran Jepang telah memasuki perang pada tahun 1940 dengan menandatangani Pakta Tripartit dengan Italia dan Jerman. AS memasuki konflik pada tahun 1941, setelah serangan Jepang di Pearl Harbor.
Berharap untuk mempertahankan pengaruhnya di seluruh Asia, Jepang meluncurkan serangan terhadap Filipina, Guam, dan Pulau Wake yang dikuasai AS dan di Kerajaan Inggris di Kalimantan, Malaysia, Singapura, dan Hong Kong.
Seruan untuk larangan nuklir
Generasi terakhir penyintas Hiroshima dan Nagasaki menyerukan penghapusan bom nuklir.
Disebut “hibakusha”, yang berarti “orang yang terkena dampak bom”, mereka berharap pesan mereka akan bertahan lebih lama.
Tapi sekarang jumlahnya lebih sedikit. Usia rata-rata seseorang yang mengalami peristiwa tersebut adalah lebih dari 83 tahun, menurut kementerian kesehatan Jepang.
Diperkirakan ada 136.700 orang yang selamat, banyak di antaranya adalah bayi atau anak-anak yang belum lahir pada saat serangan tersebut.
“Apa yang kami hibakusha katakan adalah kami tidak dapat mengulangi (serangan nuklir),” kata Terumi Tanaka, 88 tahun, salah satu korban selamat dari pemboman Nagasaki, kepada AFP menjelang peringatan itu.
Ketika peristiwa bom menghantam kala itu, Terumi Tanaka masih berusia sekitar 13 tahun.
“Kami membentuk sebuah kelompok bernama No More Hibakusha Project, yang bekerja untuk menyimpan catatan sebagai arsip, termasuk apa yang telah kami tulis … sehingga (generasi berikutnya) dapat menggunakannya dalam kampanye mereka,” kata Terumi Tanaka.
Jiro Hamasumi (74), adalah salah satu korban selamat termuda dari serangan tersebut. Ibunya sedang mengandung dia di Hiroshima ketika bom melanda, sehingga dia lolos dari efek fisik radiasi dengan berada di dalam rahim.
Serangan itu menewaskan ayahnya dan menewaskan beberapa kerabat lainnya setelahnya. “Bagi saya, payung nuklir hanya berarti awan jamur,” kata Hamasumi.
“Hibakusha ingin Amerika Serikat meminta maaf kepada kami, tapi bukti permintaan maafnya adalah penghapusan nuklir, kami tidak mengejar balas dendam,” katanya.
Source: Euronews
Editor: A1