Bicaraindonesia.id, Jenewa – Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan sekitar 14,9 juta orang meninggal baik oleh COVID-19 atau karena dampak dari pandemi yang ditimbulkan selama dua tahun terakhir. Angka tersebut diprediksi melebihi jumlah kematian resmi yang dilaporkan.
“Data yang serius ini tidak hanya menunjukkan dampak pandemi tetapi juga kebutuhan semua negara untuk berinvestasi dalam sistem kesehatan yang lebih tangguh yang dapat mempertahankan layanan kesehatan penting selama krisis, termasuk sistem informasi kesehatan yang lebih kuat,” kata Direktur Jenderal WHO, Dr Tedros Adhanom Ghebreyesus melalui siaran pers yang diterima Bicaraindonesia.id, Kamis (5/5/2022).
“WHO berkomitmen untuk bekerja dengan semua negara untuk memperkuat sistem informasi kesehatan mereka guna menghasilkan data yang lebih baik untuk keputusan yang lebih baik dan hasil yang lebih baik,” tambahnya.
Dalam keterangan resminya itu, WHO juga menyebutkan, bahwa data kelebihan kematian dihitung sebagai perbedaan antara jumlah kematian yang telah terjadi dan jumlah yang diharapkan tanpa adanya pandemi berdasarkan data dari tahun-tahun sebelumnya.
Kelebihan kematian ini termasuk yang terkait dengan COVID-19 maupun karena dampaknya. Kematian yang terkait secara tidak langsung dengan COVID-19, disebabkan oleh kondisi kesehatan lain. Seperti, dimana orang tidak dapat mengakses pencegahan dan pengobatan karena sistem kesehatan terbebani oleh pandemi.
Perkiraan jumlah kematian berlebih dapat dipengaruhi juga oleh kematian yang dapat dihindari selama pandemi karena risiko kejadian tertentu yang lebih rendah. Seperti kecelakaan kendaraan bermotor atau cedera akibat kerja.
Sebagian besar dari kelebihan kematian (84 persen) terkonsentrasi di Asia Tenggara, Eropa, dan Amerika. Sementara sekitar 68 persen dari kelebihan kematian terkonsentrasi hanya di 10 negara secara global.
Negara-negara berpenghasilan menengah menyumbang 81 persen dari 14,9 juta kematian berlebih. Dengan rincian, 53 persen di negara berpenghasilan menengah-bawah dan 28 persen merupakan negara berpenghasilan menengah-atas. Sementara masing-masing negara itu menyumbang sekitar 15 persen dan 4 persen.
Perkiraan untuk periode 24 bulan (2020 dan 2021) itu juga mencakup perincian kelebihan kematian berdasarkan usia dan jenis kelamin. Menurut WHO, angka kematian global lebih tinggi untuk pria daripada wanita (57 persen pria, 43 persen wanita) dan lebih tinggi di antara orang dewasa yang lebih tua (lansia).
Hitungan absolut dari kelebihan kematian dipengaruhi oleh ukuran populasi penduduk. Jumlah kematian berlebih per 100.000 (penduduk), memberikan gambaran pandemi yang lebih objektif daripada data kematian COVID-19 yang dilaporkan.
Asisten Direktur Jenderal Data, Analisis dan Pengiriman WHO, Dr Samira Asma menyebutkan, perhitungan kematian berlebih merupakan komponen penting untuk memahami dampak pandemi. Menurut dia, pergeseran tren kematian memberikan informasi pembuat keputusan untuk membuat kebijakan dalam mengurangi kematian dan secara efektif mencegah krisis di masa depan.
“Karena investasi terbatas dalam sistem data di banyak negara, tingkat sebenarnya dari kelebihan kematian seringkali tetap tersembunyi,” kata dia.
“Perkiraan baru ini menggunakan data terbaik yang tersedia dan telah diproduksi menggunakan metodologi yang kuat dan pendekatan yang sepenuhnya transparan,” sambungnya.
Di waktu yang sama, Asisten Direktur Jenderal untuk Tanggap Darurat, Dr Ibrahima Socé Fall menerangkan, data menjadi dasar rujukan WHO untuk mempromosikan kesehatan, menjaga dunia tetap aman, dan melayani yang rentan.
“Kami tahu di mana kesenjangan data, dan kami harus secara kolektif mengintensifkan dukungan kami ke negara-negara, sehingga setiap negara memiliki kemampuan untuk melacak wabah secara real-time, memastikan pengiriman layanan kesehatan penting, dan menjaga kesehatan populasi,” kata dia.
Riset ini merupakan hasil dari kolaborasi global yang didukung oleh kerja Kelompok Penasihat Teknis untuk Penilaian Kematian COVID-19 dan konsultasi negara.
Kelompok ini diselenggarakan bersama oleh WHO dan Departemen Urusan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa (UN DESA) dengan terdiri dari banyak pakar terkemuka dunia, yang mengembangkan metodologi inovatif untuk menghasilkan perkiraan kematian yang sebanding bahkan ketika data tidak lengkap atau tak tersedia.
Metodologi ini sangat berharga karena banyak negara masih kekurangan kapasitas untuk melakukan surveilans kematian yang andal. Dengan menggunakan metodologi yang tersedia untuk umum, negara-negara dapat menggunakan data mereka sendiri untuk menghasilkan atau memperbarui perkiraan mereka sendiri.
“Sistem Perserikatan Bangsa-Bangsa bekerja sama untuk memberikan penilaian otoritatif tentang korban jiwa global yang meninggal akibat pandemi. Pekerjaan ini merupakan bagian penting dari kolaborasi berkelanjutan UN DESA dengan WHO dan mitra lainnya untuk meningkatkan perkiraan kematian global,” kata Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Ekonomi dan Sosial, Liu Zhenmin.
Direktur Divisi Statistik UN DESA, Stefan Schweinfest menambahkan, bahwa kekurangan data menjadi kendala untuk menilai cakupan sebenarnya dari sebuah krisis, dengan konsekuensi serius bagi kehidupan masyarakat.
“Pandemi telah menjadi pengingat yang jelas tentang perlunya koordinasi sistem data yang lebih baik di dalam negara dan untuk meningkatkan dukungan internasional untuk membangun sistem yang lebih baik, termasuk untuk pendaftaran kematian dan peristiwa penting lainnya,” tutupnya.
Source: WHO
Editorial: B1