Bicaraindonesia.id – Impor sampah plastik sekarang menjadi masalah di Indonesia, terutama setelah ditemukannya kontainer sampah yang ternyata mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3).
Salah satu negara pengimpor sampah plastik ke Indonesia adalah Australia. Namun siapa sangka bahwa terdapat orang-orang yang berusaha bertahan hidup dari tumpukan sampah plastik itu, dan berharap bahwa impor sampah plastik ke Indonesia tidak dihentikan karena itu adalah sumber mata pencaharian mereka.
Misna duduk di gunung sampah di desanya di Ploso, Jawa Timur, memegang uang kertas pecahan $20 Australia yang sudah robek dan pudar.
Misna dikenal sebagai pemulung, ia telah memilah-milah sampah orang lain selama dua puluh tahun. Dia segera mulai memulung setelah perusahaan daur ulang kertas, Pakerin, membuka pintunya. Sekarang sebagian besar desa berpenduduk sekitar 1.000 orang itu mencari nafkah dengan bekerja di pabrik atau memilah-milah limbah yang dibuang oleh perusahaan tersebut.
“Saya menghasilkan sekitar Rp50.000 atau Rp60.000 setiap hari sekarang. Suami saya sakit, dia menjalani operasi tahun lalu, jika saya tidak bekerja, kami tidak makan, keluarga saya tidak makan,” kata Misnah.
Sampah-sampah tersebut berasal dari seluruh dunia, seperti Inggris, Amerika Serikat (AS), Australia, Singapura, banyak negara lain.
“Saya tahu dari uang yang kami temukan. Saya menemukan uang kertas $20 Australia minggu ini, tapi terlalu rusak, jadi saya tidak bisa menjualnya,” ungkapnya.
Desa Misna tertutup sampah, tetapi dia tidak ingin Indonesia berhenti mengimpor plastik dan kertas dari luar neger. Karena dia tidak tahu bagaimana lagi dia bisa mencari nafkah.
“Mereka tidak bisa melakukan itu, mereka tidak boleh. Apa yang akan terjadi pada kami, ratusan, ribuan dari kami? Mereka tidak bisa,” harap Misnah.
Warga Australia menggunakan 3,5 juta ton plastik pada tahun 2016-2017, di mana sekitar 180.100 ton diproses kembali di Australia dan 235.100 ton dikirim ke luar negeri.
Tetapi keputusan China pada tahun 2017 untuk berhenti menerima sampah, membuat rantai pasokan global kacau. Itu berarti harus ada tujuan baru untuk limbah daur ulang yang diproduksi oleh negara-negara maju. Banyak dari limbah itu telah ditemukan di negara-negara berkembang di Asia Tenggara, termasuk Malaysia, Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam.
Sekarang, negara-negara itu berusaha melawan agar tidak menjadi tempat pembuangan sampah untuk limbah daur ulang negara-negara Barat. Mereka memunculkan hambatan untuk mengimpor limbah plastik berkualitas rendah, yang sulit didaur ulang.
Malaysia sedang bersiap untuk mengirim sekitar 3.000 ton sampah kembali ke Australia dan ke sejumlah negara lain, termasuk AS, Inggris, dan Kanada.
Filipina dan Indonesia berencana untuk melakukan hal yang sama. Filipina sangat kesal dengan Kanada sehingga memanggil kembali Duta Besarnya pada bulan Mei, sementara Thailand dan Vietnam juga secara tajam menindak impor sampah plastik.
Sydney Morning Herald dan The Age melakukan perjalanan ke kota pelabuhan Indonesia di Batam pada awal minggu ini, untuk berbicara dengan pejabat bea cukai yang telah menyita 65 kontainer sampah plastik, termasuk satu kontainer dari Australia yang oleh para pejabat Indonesia diklasifikasikan sebagai bahan berbahaya dan beracun (B3).
Sebagian besar limbah dalam kontainer tersebut adalah barang-barang rumah tangga biasa, tetapi bercampur dengan barang-barang yang lebih berbahaya seperti wadah oli mesin dan sealant silikon.
Semua ini terjadi di negara yang sudah berjuang untuk mengelola limbahnya sendiri yang diproduksi di dalam negeri. Sungai-sungai dan kanal-kanal di Indonesia sangat tercemar, jalan-jalannya sering penuh dengan sampah, dan sebagian besar sampah plastik di Indonesia berakhir di lautan dunia. Indonesia adalah penyumbang sampah plastik di lautan terbesar kedua di dunia secara global.
Namun ironisnya, kegagalan untuk menegakkan sistem untuk mengumpulkan dan menyortir limbah di Indonesia sendiri dapat menjelaskan mengapa pabrik daur ulang perlu mengimpor plastik dan kertas dari luar negeri.
Di Surabaya, kota terbesar kedua di Indonesia, daur ulang plastik adalah bisnis besar. Sekarang, delapan kontainer Australia yang seharusnya hanya memiliki kertas di dalamnya tetapi ternyata juga berisi campuran plastik, telah disita di pelabuhan Surabaya. Tampaknya kontainer ini akan dikirim kembali juga.
Selasa depan, (09/07) Kementerian Keuangan dan Kementerian Lingkungan Hidup RI akan mengadakan konferensi pers tentang kontainer Surabaya, dan tentang masalah sampah plastik secara lebih luas. Aturan yang lebih tegas diperkirakan akan diumumkan.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, tentang impor limbah tersebut. “Intinya adalah, kita tidak menginginkannya. Mengapa (kita harus menerimanya)? Kita dibohongi,” kata dia, Selasa (02/07).
Tetapi tampaknya tidak mungkin bahwa impor sampah plastik daur ulang akan dilarang, karena kehilangan akses pada komoditas yang dapat diperdagangkan akan memberi tekanan pada bisnis Indonesia.
Sahat Panggabean, seorang pejabat senior di Departemen Lingkungan Hidup Indonesia mengatakan, bahwa pemerintah ingin memperketat pengawasan terhadap bahan yang diimpor, tetapi tidak melarangnya.
“Tidak akan ada penutupan (industri ini), tidak seperti itu. Filosofi di balik melakukan daur ulang bukan untuk mengimpor sampah, tetapi untuk menggunakan sampah domestik. Namun, bisnis mengatakan bahwa pasokan domestik pendek sehingga kami membuka saluran untuk mengimpor bahan baku (plastik),” katanya.
Menurutnya, para petugas di lapangan harus benar-benar memeriksa bahwa manifesnya harus sesuai dengan barang-barang di dalam kontainer. “Sehubungan dengan limbah impor, kami sedang mengeksplorasi gagasan tentang bagaimana membuat pebisnis menjadi lebih bertanggung jawab. Pada dasarnya ini tentang etika bisnis,” ujarnya.
Sementara itu, di desa Ploso, dekat Surabaya, banyak penduduk setempat mencari nafkah dari memilah-milah sampah plastik impor yang menumpuk di sekitar mereka dan dibawa bersama dengan kertas untuk didaur ulang.
Giman, Kepala Desa Ploso, setuju bahwa penduduk setempat sangat khawatir bahwa pemerintahnya akan menghentikan impor limbah plastik dan kertas, mengingat liputan media baru-baru ini.
“Apa yang akan terjadi pada kami, dan pada pekerja perusahaan, jika mereka menghentikan kontainer?. Saya bisa mengirim tiga putra saya ke universitas. Dua di antaranya sekarang memiliki gelar sarjana,” kata Giman.
Luar biasa, sampah plastik yang disortir bahkan dibakar untuk memasak tahu, karena itu alternatif yang lebih murah daripada kayu bakar.
“Setiap limbah dari perusahaan bernilai sesuatu. Bagi orang lain itu adalah sampah, bagi kami itu adalah harta. Potongan-potongan kertas kami jual untuk membuat nampan telur. Potongan plastik besar, kami memisahkan mereka dan menjualnya. Sampah yang terlalu kecil untuk dipisahkan, kita bisa menjualnya ke pabrik tahu, sosis, dan kerupuk untuk dijadikan alternatif kayu bakar. Setiap sampah bernilai,” imbuh Giman.
Trevor Thornton dari Deakin University, seorang ahli dalam manajemen bahan berbahaya mengatakan, bahwa orang Australia cukup pandai dalam mendaur ulang, baik bisnis maupun rumah tangga. “Yang tidak kami kuasai adalah tidak memasukkan bahan yang terkontaminasi ke dalamnya,” katanya.
Ia menyebut, pasar daur ulang global dalam beberapa tahun terakhir melihat perubahan yang besar pada apa yang sekarang dapat diterima.
“Kami membutuhkan pemerintah Australia dan perusahaan swasta untuk meningkatkan kapasitas penyortiran di Australia. Teknologi itu ada, kami hanya membutuhkan lebih banyak. Kami juga membutuhkan rumah tangga untuk mengurangi tingkat kontaminasi,” kata Trevor.
Di Australia, pengelolaan limbah berada di bawah wewenang pemerintah negara bagian, bukan pemerintah federal. Tetapi sulit untuk menghindari kesimpulan bahwa intervensi federal mungkin diperlukan untuk memperkenalkan pengaturan kebijakan yang konsisten secara nasional.
Sebagian besar pemain industri setuju bahwa yang dibutuhkan adalah lebih banyak daur ulang di Australia dan lebih sedikit limbah yang dikirim ke negara-negara yang tidak diperlengkapi untuk menghadapinya.