Bicaraindonesia.id – Aplikasi Diagnosis telinga, hidung, dan tenggorokan (THT) menjadikan mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa) menjuarai kompetisi ilmiah nasional Holistic (Halu Oleo Scientific Competition) 2019.
Dekan FK Unusa sekaligus dosen pembimbing, Dr Handayani mengatakan, aplikasi ini dapat digunakan untuk membantu dokter melakukan diagnosis awal. Harapannya input data pasien sebagai diagnosis awal bisa menyingkat waktu tunggu pasien. Tak hanya diinstal pada smartphone, aplikasi tersebut juga divisualkan dalam sebuah poster ilmiah.
“Hasilnya dua karya ilmiah dalam bentuk literatur review dan poster dengan judul yang sama ‘Quick Respon Mobile (QRM) dengan metode artificial intellegence (AI) membantu dokter dalam mendiagnosis suatu penyakit THT,” kata Dr Handayani dalam siaran persnya, Jumat (15/11/19).
Menurutnya, kemenangan ini tidak lepas dari tema teknologi yang diaplikasikan dalam bidang kesehatan. “Sebagai universitas bidang kesehatan dan teknologi, Unusa akan terus mengembangkan smarthealth. Penyusunan karya ilmiah ini juga didukung tim sistem informasi,” katanya.
Tahun ini, kompetisi nasional Holistic sudah digelar keempat kali oleh Fakultas Kedokteran Universitas Halu Oleo, Kendari. Holistic 2019 yang mengusung tema penyakit THT ini diikuti total 53 tim dari 19 FK universitas negeri dan swasta seluruh Indonesia. Sedangkan gelaran final pada 25-27 Oktober 2019 di Kendari, Sulawesi Tenggara, diikuti 21 finalis.
Fakultas Kedokteran Unusa mengirimkan dua tim dari mahasiswa semester VII. Kedua tim berhasil meraih juara, masing-masing juara 1 kategori poster ilmiah dengan tim Muhammad Jauhan Farhad, Firda Nur Laila, Diaz Syafrie Abdillah. Dan, juara 3 untuk literatur review dengan tim Diaz Syafrie Abdillah, Afira Febriani Wijaya.
Ketua tim karya ilmiah, Diaz Syafrie Abdillah mengatakan, metode AI (artificial intelligence) mampu mengefektifkan waktu antara pasien THT dengan dokter. Harapannya, bisa menjadi sarana salah satu teknik komunikasi baru antara dokter dan pasien.
“Dengan aplikasi QRM, pasien bisa melakukan input data tentang gejala yang dideritanya. Sedangkan metode AI yang merupakan kecerdasan buatan, mampu memproses input data pasien menjadi diagnosis awal gejala THT. Yang nantinya bisa dimanfaatkan sebagai penatalaksanaan awal untuk membantu dokter dalam pemeriksaan,” kata dia.
Namun demikian, pihaknya memastikan, bahwa karya ilmiah tersebut masih akan terus dikembangkan. Seperti fasilitas chat dengan pasien sebagai sarana komunikasi langsung. Fasilitas chat ini perlu admin yang juga memahami masalah kesehatan.
Ia mengungkapkan, bahwa ide diagnosis awal THT untuk membantu dosen ini juga diikutkan dalam lomba poster publik. Tujuannya agar pasien lebih memahami prosedur aplikasi QRM tersebut. “Karena temanya poster ilmiah, kami desain lebih sederhana namun tetap informatif,” pungkas dia.