Bicaraindonesia.id, Surabaya – Puteri Indonesia Lingkungan 2023, Yasinta Aurellia, menegaskan pentingnya strategi personal branding bagi generasi muda di era digital. Ia mengajak para anak muda untuk mulai membangun citra diri sejak dini agar memiliki identitas dan nilai pembeda di tengah persaingan global.
Hal itu disampaikan Yasinta dalam Seminar Nasional Commposition 2025 bertema “Anak Muda, Gerakan Digital dan Jejak Perubahan” yang digelar oleh Program Studi Ilmu Komunikasi (Ikom) UPN “Veteran” Jawa Timur, Selasa (4/11/2025).
“Personal branding itulah yang menjadi identitas dan reputasi yang membedakan seseorang dari jutaan lainnya. Kalau boleh mengutip dari Jeff Bezos, personal branding adalah bagaimana orang melihat, mengingat, dan membicarakan kita bahkan ketika kita tidak ada di ruangan itu,” ujar Yasinta.
Menurut Yasinta, di era digital visibilitas adalah bentuk baru dari kredibilitas.
“Dikenal itu mudah, tapi dipercaya adalah seni yang sesungguhnya. Karena itu, personal branding bukan sekadar pencitraan, tapi tentang keaslian dan konsistensi,” jelasnya.
Ia juga menyinggung data yang menunjukkan masih banyak lulusan perguruan tinggi di Indonesia yang belum bekerja. Per Februari 2025, jumlahnya mencapai lebih dari satu juta orang.
Kondisi tersebut menuntut generasi muda untuk tampil berbeda dengan menunjukkan nilai dan potensi diri melalui personal branding yang kuat.
“Personal branding membuka peluang baru, membangun kepercayaan, dan menjadi investasi jangka panjang. Ini bukan tentang menjadi sempurna, tapi tentang menjadi autentik,” katanya.
Dalam paparannya, Yasinta memaparkan empat langkah membangun personal brand, yaitu discover, decide, display, dan deliver. Setiap individu, katanya, perlu menemukan nilai diri, menentukan hal yang ingin dikenal, menampilkan diri secara konsisten, serta menjaga reputasi positif di dunia maya.
“Segala yang kita unggah membentuk citra kita. Gunakan media sosial sebagai portofolio diri, bukan sekadar tempat bersenang-senang. Ingat, internet tidak pernah lupa. Jadi, ayo membangun branding diri mulai sekarang,” pesannya.
Sementara itu, Dosen Program Studi Televisi dan Film Universitas Jember (UNEJ), Romdhi Fatkhur Rozi, menyoroti fenomena metric crisis yang menjerat banyak anak muda dalam budaya angka dan validasi sosial.
“Kita hidup di tengah metric society, semua hal diukur dengan likes, views, engagement rate, dan traffic. Namun di balik itu, ada tekanan psikologis, bias kognitif, hingga homogenisasi kultural,” ujar Romdhi.
Ia menilai sistem algoritma dan rating menciptakan semacam ekonomi perhatian yang membuat kreativitas kehilangan makna.
“Kita perlu beralih dari attention economy menuju conscious economy, yakni ekosistem digital yang berbasis nilai, kesadaran, dan keberlanjutan,” jelasnya.
Romdhi menegaskan bahwa generasi muda harus menjadi subjek yang sadar dan kritis dalam sistem digital.
“Anak muda perlu membangun kedaulatan data dan memproduksi konten yang bernilai. Branding dirinya harus kuat, bukan sekadar mengejar validasi sosial. Karena di balik angka, ada nilai yang lebih esensial,” katanya. (*/An/A1)


