Bicaraindonesia.id, Jakarta – Pakar grafolog sekaligus pengamat perilaku dan strategi AI, Gusti Aju Dewi, menilai peristiwa demonstrasi yang berujung kerusuhan serta penjarahan rumah sejumlah politikus dan pejabat pada akhir Agustus 2025 tidak terjadi secara spontan.
“Pihak di balik layar jelas ada. Meskipun saya tidak tahu siapa secara pasti. Tapi logikanya sederhana. Demo yang murni dan spontan selalu berantakan. Pesannya tidak seragam, aksinya berbeda-beda, dan waktunya pun acak,” ujar Gusti Aju dalam keterangan tertulis di Jakarta, dikutip Minggu (2/11/2025).
Menurutnya, ada kemungkinan pihak tertentu menyusup dan memanfaatkan kemarahan publik sebagai pemicu aksi. Ia menilai, pola penyerangan dan penjarahan yang terjadi kala itu berlangsung secara rapi dan nyaris tanpa pengamanan berarti.
Selain itu, kata dia, mobilisasi massa terlihat sangat rapi dan sistematis, seolah sudah direncanakan untuk menyasar rumah-rumah sejumlah politikus dan pejabat.
“Peristiwa pada Agustus lalu itu semoga menjadi wake up call bahwa kita tidak sedang menghadapi sekadar hoaks, tapi perang opini yang terencana, di mana masyarakat dijadikan bahan bakar emosi untuk mengguncang stabilitas bangsa,” katanya.
Gusti Aju juga tidak menampik dugaan bahwa insiden di rumah Ahmad Sahroni, Uya Kuya, Eko Patrio, hingga mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani merupakan bagian dari skenario tertentu.
Ia menilai, massa kemungkinan besar digerakkan oleh disinformasi yang dilakukan secara masif dan sistematis untuk menimbulkan fitnah serta kebencian. Dampaknya, amuk massa tak terkendali dan berujung pada tindakan penjarahan, pengancaman, hingga persekusi.
“Ketika amuk massa itu terjadi, sebagian pihak justru memakluminya karena menganggap rakyat sedang marah. Padahal, penjarahan itu bagian dari skenario besar untuk mengarahkan kemarahan publik kepada pihak tertentu,” ungkapnya.
Gusti Aju juga menyoroti bagaimana sejumlah tokoh publik seperti Ahmad Sahroni, yang dikenal aktif membantu warga, justru menjadi korban dari arus kebencian.
“Inilah bahayanya DFK (Disinformasi, Fitnah, Kebencian), ketika moral publik dibajak, orang merasa tindakannya benar padahal sudah melanggar hukum,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa segala bentuk kekerasan dan penjarahan tetap merupakan tindak kriminal yang tidak dapat dibenarkan. Menurutnya, sanksi terhadap pejabat publik harus ditempuh melalui mekanisme hukum yang berlaku, bukan melalui tekanan emosional masyarakat.
“Soal sanksi administrasi, harus lewat bukti hukum, bukan amarah publik. Sanksi atau pencopotan jabatan seharusnya didasarkan pada pembuktian hukum dan mekanisme formal. Kalau kita biarkan emosi menggantikan hukum, maka bangsa ini akan hancur pelan-pelan,” pungkasnya. (*/Sp/A1)


