Bicaraindonesia.id, Jakarta – Ombudsman Republik Indonesia (RI) menilai pelaksanaan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) Tahun 2025 secara umum berjalan baik. Namun, lembaga pengawas pelayanan publik itu masih menemukan sejumlah persoalan terkait pemerataan akses pendidikan, konsistensi regulasi, transparansi, dan akuntabilitas penyelenggara di daerah maupun satuan pendidikan.
Ketua Ombudsman RI Mokhammad Najih menyebut masih terdapat kesenjangan antara ketentuan regulasi dengan pelaksanaan di lapangan.
“Kami melihat masih ada daerah yang belum siap, baik dari sisi perencanaan, koordinasi antarinstansi, maupun dalam memberikan layanan yang transparan dan adil kepada masyarakat. Padahal, pendidikan adalah hak setiap anak,” ujar Najih melalui siaran persnya di Jakarta dikutip pada Jumat (31/10/2025).
Najih menegaskan, hasil pengawasan tersebut bukan hanya berisi temuan, tetapi juga dorongan untuk memperbaiki tata kelola pendidikan nasional.
“Kami berharap hasil ini menjadi bahan refleksi bersama, bahwa pemerataan pendidikan tidak bisa hanya diukur dari jumlah sekolah atau kuota, tetapi dari sejauh mana negara hadir memastikan setiap anak, termasuk yang paling rentan, mendapatkan akses yang setara dan bermartabat,” katanya.
Anggota Ombudsman RI Indraza Marzuki Rais menjelaskan pengawasan dilakukan oleh 32 kantor perwakilan Ombudsman di seluruh Indonesia. Pengawasan mencakup tiga tahap, yakni pra-SPMB, pelaksanaan, dan pasca-SPMB.
Pada tahap pra-SPMB, Ombudsman mencatat masih banyak pemerintah daerah yang belum melakukan pemetaan satuan pendidikan dan sebaran calon murid secara menyeluruh.
“Wilayah blank spot masih ditemukan karena tidak adanya pemetaan yang akurat. Juknis di beberapa daerah bahkan diterbitkan kurang dari batas waktu sebelum pendaftaran,” terang Indraza.
Selain itu, ditemukan juknis yang tidak ditetapkan melalui keputusan kepala daerah, sosialisasi yang belum menjangkau kelompok rentan, serta koordinasi lintas instansi yang belum berjalan optimal.
Pada tahap pelaksanaan, Ombudsman menemukan adanya perbedaan penafsiran jalur seleksi antardaerah, satuan pendidikan yang tidak mengumumkan daya tampung, serta penggunaan surat keterangan domisili dan SKTM yang tidak sesuai aturan.
Pengumuman hasil seleksi juga dinilai masih kurang transparan, sementara ketentuan jalur mutasi bagi orang tua dengan pekerjaan non-formal belum diatur secara rinci.
Pada tahap pasca-SPMB, Ombudsman RI menemukan berbagai pelanggaran seperti pungutan tidak resmi, penambahan rombongan belajar tanpa dasar, penerimaan murid melebihi daya tampung, serta intervensi penyisipan “siswa titipan”.
Ombudsman juga mencatat kasus calon murid yang semula dinyatakan lulus namun gagal daftar ulang karena namanya menghilang dari daftar.
Sebagai tindak lanjut, Ombudsman RI merekomendasikan agar Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) menyusun peta jalan pemerataan sekolah nasional serta memperkuat kebijakan berbasis data melalui sistem Dapodik.
Pengaturan teknis terkait wilayah blank spot, masa berlaku dokumen, dan jalur afirmasi bagi penyandang disabilitas juga perlu diperjelas agar tidak terjadi perbedaan tafsir di daerah.
Selain itu, Ombudsman meminta Menteri Dalam Negeri (Mendagri) memastikan seluruh kepala daerah menetapkan juknis SPMB melalui keputusan resmi, membentuk panitia lintas instansi, serta mengintegrasikan data pendidikan, sosial, dan kependudukan.
Ombudsman juga menyoroti pentingnya peran Kementerian Sosial (Kemensos) dalam memperbarui Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang kini bertransformasi menjadi Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN), agar data penerima manfaat jalur afirmasi lebih tepat sasaran. (*/Pr/A1)


