Bicaraindonesia.id, Padang – Peringatan 16 tahun gempa Sumatra Barat (Sumbar) 30 September 2009 menjadi momentum penting untuk mengingat kembali betapa besarnya dampak bencana tersebut.
Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto menegaskan bahwa mitigasi berbasis riset menjadi kunci dalam membangun ketangguhan menghadapi bencana di Indonesia.
“Delapan puluh satu persen wilayah Indonesia rawan bencana gempa,” kata Suharyanto saat menjadi keynote speaker Konferensi Internasional Penanggulangan dan Mitigasi Bencana ke-3 (3rd ICDMM) di Universitas Andalas, Padang, Senin (29/9/2025).
Gempa bermagnitudo (M) 7,6 yang mengguncang Sumbar pada 2009 silam menelan ribuan korban jiwa, merusak 135.000 rumah, serta menimbulkan kerugian ekonomi hingga Rp22 triliun.
Suharyanto mengingatkan bahwa bencana serupa berpotensi terjadi di wilayah lain karena sesar baru terus teridentifikasi, seperti di Cianjur, Sumedang, dan Poso. Menurutnya, mitigasi harus dilakukan secara kolaboratif dengan melibatkan unsur pentaheliks, berbasis bukti ilmiah, dan adaptif.
Ia kemudian memaparkan tiga poin penting mitigasi berbasis riset yang tengah dikembangkan BNPB. Pertama, penguatan riset kebumian untuk pemetaan risiko lebih detail.
“BNPB telah menggunakan hasil riset dari BRIN dan universitas untuk memetakan zona megathrust yang dijadikan dasar dalam menyusun peta evakuasi detail untuk 182 desa rawan tsunami di Indonesia,” ujarnya.
Kedua, pendekatan struktural berbasis rekayasa. Ia menekankan pentingnya tata ruang, penguatan bangunan tahan gempa, serta penyesuaian bangunan yang adaptif terhadap tsunami.
“Mungkin yang perlu kita tingkatkan ke depan, di samping membangun rumah tahan gempa juga harus membuat rumah tahan tsunami,” tambahnya.
Ketiga, pendekatan non-struktural berbasis masyarakat dan teknologi. Suharyanto menyebut perubahan perilaku bisa dipercepat dengan teknologi, termasuk pemanfaatan AI untuk simulasi bencana, evakuasi, dan kedaruratan.
“Selain itu, aspek kearifan lokal, seperti ‘Rumah Panggung’ di Sumatra Barat, dikombinasikan dengan riset etnografi untuk adaptasi budaya yang relevan digunakan di era teknologi,” katanya.
Konferensi internasional bertema Getting Ready for Megathrust ini terselenggara berkat dukungan Pemerintah Australia melalui program SIAP SIAGA.
Duta Besar Australia Roderick Brazier menegaskan komitmen negaranya memperkuat kerja sama dengan Indonesia dalam ketahanan bencana, pembangunan inklusif, dan pemberdayaan masyarakat.
“Sumatra Barat berada di garda terdepan dalam manajemen risiko bencana, dan konferensi ini merupakan kesempatan yang tepat untuk berbagi pengetahuan tentang strategi pengurangan risiko bencana,” ujar Dubes Roderick Brazier. (*/Pr/A1)


