Oleh: Aan Haryono
Komisioner KPID Jatim
Suatu hari, seorang anak bertanya kepada ibunya, “Bu, kenapa aku harus bicara kalau bisa kirim emoji?”
Sang ibu tertawa kecil, lalu diam. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Sebab di layar ponselnya sendiri, sudah ada sepuluh pesan masuk dan semuanya dibalas dengan stiker.
Di zaman ini, pertemanan bisa dimulai dengan like, berlanjut dengan emoji, dan berakhir dengan unfollow. Anak-anak lahir ke dunia yang bisa mereka sentuh dengan jempol, tapi seringkali tidak mereka rasakan dengan hati.
Orang bilang, ini zaman yang canggih. Tapi anak-anak malah sering tak tahu harus bicara apa ketika bertemu sungguhan. Dunia digital membuka pintu selebar-lebarnya, lalu diam-diam menutup ruang-ruang di hati.
Apa kabar masa kecil yang dulu penuh tanah, lumpur, dan teriakan riang? Hari ini, anak-anak lebih akrab dengan layar ponsel ketimbang bau hujan di tanah lapang.
Dan kita para orang dewasa, kadang sibuk menanam investasi pada pendidikan, kursus, dan masa depan. Tapi lupa berinvestasi pada satu hal yang paling sederhana: menemani mereka tumbuh sebagai anak-anak. Begitulah. Mereka tumbuh dengan jempol yang selalu sibuk dan hati yang perlahan sepi.
Kita hidup di zaman yang aneh: perbincangan tentang investasi pada masa depan anak-anak semakin ramai, tapi perjumpaan antara anak dan masa kecilnya sendiri justru makin langka. Tak ada lagi tapak kaki di tanah yang basah selepas hujan, atau coretan kapur di lantai gang sempit. Masa kecil yang dahulu riuh oleh keriangan kini beringsut ke dalam algoritma, jadwal privat les coding, dan notifikasi aplikasi edukasi.
Inilah zaman ketika tantangan terbesar anak bukan hanya kemiskinan atau kekerasan fisik, tapi kehilangan makna. Mereka tumbuh dengan akses informasi tak terbatas, tapi minim ruang untuk bertanya dan didengarkan. Mereka bisa melihat dunia, tapi sering tak bisa memahami dirinya sendiri.
Ada yang berubah diam-diam dan dalam. Anak-anak hari ini menghadapi tantangan yang tidak dialami generasi sebelumnya: ruang digital. Di sana, segala sesuatu hadir sekaligus samar. Ada edukasi, ada pornografi. Ada peluang belajar, ada ancaman perundungan. Ada jejaring sosial, tapi juga keterasingan.
Ketika algoritma mengatur pertemanan, anak-anak tidak lagi belajar menyapa, menunggu giliran, atau kecewa tanpa dendam. Mereka belajar cepat, tapi bukan tentang etika. Mereka mahir mengetik, tapi gagap saat harus berbicara dengan orang nyata. Pertemanan digital begitu cair dan juga rapuh.
Sebagian besar anak kini hadir di dunia maya lebih banyak daripada di ruang tamu keluarga. Statistik bisa bicara: anak-anak usia 10–17 tahun menghabiskan lebih dari 4 jam per hari di depan layar. Tetapi statistik tak bisa menggambarkan sunyi yang menyelusup dalam keakraban semu itu. Betapa banyak dari mereka yang tumbuh dalam keramaian digital, tetapi merasa sendiri dalam hidupnya sendiri.
Lalu bagaimana dengan investasi? Kata itu kini tak hanya milik pebisnis, tapi juga orangtua. Mereka bicara tentang tabungan pendidikan, kursus bahasa asing sejak balita, bahkan program nutrisi yang dikalkulasi sedetail portofolio saham. Tidak salah. Tapi pertanyaannya: apakah yang kita tanam hari ini sungguh untuk tumbuhnya anak sebagai manusia, atau hanya sebagai produk dari ambisi dewasa?
Pendidikan kini berubah menjadi pasar kompetisi sejak usia dini. Anak dituntut cepat, unggul, berprestasi. Tapi tak banyak ruang untuk gagal dengan sehat. Padahal dalam kekalahan yang wajar, seorang anak belajar tentang dirinya lebih dari sekadar nilai.
Apa arti adaptasi jika yang dituntut adalah menyerupai mesin? Bagaimana anak bisa bertumbuh jika hidupnya ditentukan oleh algoritma dan kurikulum yang tak membuka ruang untuk bermain, berkhayal, dan mengenali diri?
Di tengah perubahan ini, keluarga seharusnya menjadi ruang aman. Tapi tak semua keluarga mampu atau sadar akan perannya. Orangtua pun kelelahan. Mereka bekerja keras di dunia yang cepat, lalu berharap anak-anak mereka kuat menyesuaikan diri tanpa sempat diajak bicara.
Tumbuh adalah soal waktu dan kasih. Seperti benih yang membutuhkan tanah subur, cahaya, dan air. Anak pun memerlukan ruang untuk diam, untuk mencoba, untuk gagal, dan untuk menemukan makna dari pertemanan. Bukan hanya dengan manusia lain, tetapi juga dengan dirinya sendiri.
Sayangnya, pertemanan hari ini kerap terjadi tanpa tatap muka. Bahkan dalam satu rumah, antara ayah dan anak bisa tak saling bicara selain dalam bentuk pesan pendek. Keluarga yang semestinya menjadi sekolah pertama sering tidak hadir sebagai pendengar yang sejati. Maka anak mencari kehangatan pada dunia digital, yang justru kerap menyodorkan ilusi.
Peran keluarga hari ini bukan hanya mendampingi, tapi juga menyaring. Menyaring apa yang baik untuk anak, menyaring waktu, menyaring nilai. Ini bukan pekerjaan mudah. Tapi inilah yang membuat keluarga tetap relevan dalam dunia yang berubah cepat: bukan sekadar tempat tinggal, tapi tempat memahami arti tinggal bersama.
Ada sebuah cerita lama dari kampung-kampung: ketika anak-anak pulang bermain, mereka membawa luka di lutut, tapi juga senyum di wajah. Mereka tahu siapa teman baik, siapa yang suka curang. Mereka belajar dari sekeliling, bukan dari layar. Hari ini, cerita itu nyaris jadi kenangan kolektif yang samar.
Tapi belum terlambat.
Masih ada ruang untuk kembali memaknai masa kecil. Memberi anak waktu untuk bermain tanpa beban performa. Membiarkan mereka bertanya tanpa takut salah. Menemani mereka tanpa harus selalu mengatur.
Anak-anak kita bukan hanya penerima warisan, tapi pewaris dunia yang belum selesai dibentuk. Mereka bukan miniatur dari orang dewasa, tetapi manusia kecil yang sedang mencari bentuk.
Mereka akan tumbuh dengan atau tanpa kita. Tapi jika kita ingin mereka tumbuh sebagai manusia utuh, maka peran kita adalah menciptakan ruang: ruang yang sunyi tapi hangat, ruang yang bebas tapi aman, ruang yang tidak dibanjiri instruksi, melainkan dipenuhi rasa percaya.
Dunia boleh berubah. Teknologi boleh mengguncang. Tapi anak-anak akan tetap membutuhkan satu hal yang tak tergantikan: perasaan diterima. Dikenali. Dicintai. Bukan sebagai calon juara, bukan sebagai simbol kesuksesan keluarga, tapi sebagai anak-anak yang manusiawi yang boleh gagal, tumbuh, dan tertawa.
Dan mungkin dari situlah dunia yang lebih baik akan tumbuh. Diam-diam. Tapi kuat. Seperti pohon yang tertanam dalam. Selamat Hari Anak Nasional, Selamat Bertumbuh dan Berbahagia. ***