Bicaraindonesia.id, Malang – Warga masyarakat Desa Wonosari, Gunung Kawi, Kabupaten Malang, Jawa Timur, akan kembali menggelar acara tahunan yang dikenal sebagai Festival 1 Suro.
Tradisi ini dilaksanakan setiap 1 Suro dalam penanggalan Jawa, yang bertepatan dengan 1 Muharam atau jatuh pada 27 Juni 2025.
Yang menarik, perhelatan tahun ini menghadirkan nuansa berbeda. Dalam pawai budaya 1 Suro, akan kembali ditampilkan arak-arakan dan prosesi pembakaran Buto Sengkolo, sebuah simbol yang memiliki makna mendalam dan unik dalam tradisi spiritual masyarakat setempat.
Menurut Indra Subur Purwo, salah satu panitia penyelenggara yang berjuluk Sang Kawi, acara ini merupakan perpaduan antara kepercayaan budaya Jawa (khususnya kejawen) dengan unsur spiritual dan ritual pembersihan diri maupun wilayah.
Buto Sengkolo digambarkan berbentuk raksasa atau makhluk menyeramkan, yang berfungsi sebagai perwujudan unsur-unsur negatif seperti nafsu, kejahatan, dan energi buruk.
Makhluk ini akan diarak keliling desa sebelum akhirnya dibakar, sebagai simbol pembersihan batin dan alam sekitar dari pengaruh jahat.
Ia mengatakan, bahwa prosesi pembakaran Buto Sengkolo bisa dimaknai sebagai simbol pengusiran energi negatif, momen sakral awal tahun Jawa, perpaduan budaya Hindu-Jawa dan kejawen, pembersihan alam dan lingkungan gaib, serta penguatan komunitas spiritual.
“Gunung Kawi dikenal sebagai tempat yang diyakini memiliki dimensi spiritual kuat, termasuk ‘alam halus’. Buto Sengkolo yang diarak bisa dipahami sebagai bentuk komunikasi simbolik dengan dunia gaib, seolah-olah memberitahu atau mengingatkan bahwa saatnya energi buruk ‘dibersihkan’ dari lingkungan sekitar,” kata Indra Subur, dikutip pada Rabu (25/6/2025).
Lebih dari sekadar prosesi budaya, kegiatan ini juga menjadi ajang kebersamaan komunitas spiritual, baik dari masyarakat lokal maupun para peziarah dari luar daerah.
“Ada unsur gotong royong dan kolektivitas ritual yang menguatkan ikatan sosial dan spiritual antarpelaku tradisi,” tambahnya.
Buto Sengkolo dalam Festival 1 Suro di Gunung Kawi bukanlah sekadar pertunjukan budaya, melainkan sebuah ritual spiritual untuk membersihkan energi negatif, memperbarui diri, serta menguatkan nilai-nilai kejawen dalam menyambut awal tahun Jawa.
Sementara itu, mengutip laman resmi malangkab.go.id, Gunung Kawi terletak di Kabupaten Malang, Jawa Timur, tepatnya di Kecamatan Wonosari. Secara etimologis, “Wono” berarti hutan, sedangkan “Sari” berarti inti.
Menurut informasi dari warga setempat, Wonosari diyakini sebagai tempat yang mendatangkan banyak rezeki.
Namun, yang sebenarnya menjadi magnet utama bukan sekadar desa Wonosari atau Gunung Kawi, melainkan keberadaan sebuah area pemakaman yang dianggap keramat, yakni makam Kanjeng Kyai Zakaria II (wafat 22 Januari 1871) dan Raden Mas Imam Soedjono (wafat 8 Februari 1876).
Keduanya adalah tokoh bangsawan yang dikenal sebagai pengikut setia perjuangan Pangeran Diponegoro dalam perang melawan penjajahan antara tahun 1825–1830.
Mbah Djoego, salah satu tokoh yang dimakamkan di sana, merupakan buyut dari Susuhunan Pakubuwono I (penguasa Keraton Kartasura 1705–1717).
Adapun RM Imam Soedjono merupakan buyut dari Sultan Hamengkubuwono I (penguasa Keraton Yogyakarta pada 1755–1792). Demikian sekelumit latar belakang sejarah awal pesarean Gunung Kawi, menurut beberapa sumber masyarakat setempat.
Saat memasuki area pesarean Gunung Kawi, pengunjung seakan dibawa ke suasana kota Tionghoa tempo dulu. Di sekitar kompleks pesarean, para peziarah juga dapat menemukan beragam suvenir seperti kalung, gelang, dan cendera mata lainnya.
Salah satu kuliner khas yang cukup terkenal di kawasan ini adalah nasi pecel, yang terasa semakin nikmat saat disantap dalam udara dingin khas Gunung Kawi. (*/qcox/An/C1)