Bicaraindonesia.id – Tidak jauh dari Jembatan Merah Surabaya, cagar budaya eks De Javasche Bank terlihat berdiri kokoh di Jalan Garuda No. 01, Surabaya. Di gerbang masuk cagar budaya seluas 1000 meter persegi ini, tata ruang halaman eks De Javasche Bank terlihat sangat rapi dan bersih.
Hijaunya tanaman di sekitar halaman, seolah memberikan tone sejuk yang pas bagi bangunan putih bergaya arsitektur Neo – Renaissance tersebut.
Di pintu masuk utama, pengunjung akan disuguhkan bangunan kanopi kaca minimalis, kontras dengan halamannya yang sangat cerah.
Namun, suasana berubah seketika setelah menuruni anak tangga dari pintu masuk. Ruangan pertama dari bangunan tiga lantai ini adalah basement. Lampu penerangan berwarna kuning, serta koleksi foto hitam putih memberi kesan vintage di ruangan ini.
Selain itu, sistem keamanan pada bangunan ini terlihat dengan sangat jelas. Seperti ketebalan tembok bangunan yang mencapai satu setengah meter, dan pintu baja setiap ruang penyimpanan dengan ketebalan mencapai 50 sentimer.
Hal ini memperkuat atmosfer eks De Javasche Bank sebagai bank sentral Hindia – Belanda pada masa kolonial.
Cerita Dibalik Eks De Javasche Bank
Bermarkas di Batavia sejak 24 Januari 1828, De Javasche Bank melebarkan sayapnya di Surabaya pada 14 September 1829. Perekonomiannya yang semakin meningkat, membuat Belanda berinisiatif untuk membugar ulang dan mempermegah De Javasche Bank Surabaya pada tahun 1910.
Namun pada tahun 1953, untuk memenuhi nasionalisasi terhadap perusahaan asing, dengan sopan pemerintah Indonesia membeli seluruh saham De Javasche Bank.
Berdasarkan hasil keputusan Konferensi Meja Bundar, pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia membuat operasional De Javasche Bank digantikan dan dilanjutkan oleh Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral.
Sayangnya, karena dianggap tidak mampu menampung kegiatan operasional bank yang kian meningkat, pada tahun 1973 Bank Indonesia (BI) cabang Jawa Timur ini kemudian pindah ke Jalan Pahlawan No. 105, Surabaya. Sempat digunakan oleh Bank Jatim, namun lagi – lagi karena masalah daya tampung yang minim, gedung eks De Javasche Bank ini ditinggalkan kosong.
Sama halnya seperti gedung – gedung De Javasche Bank di kota lain, pada 27 Januari 2012 gedung ini secara resmi disebut ‘Eks De Javasche Bank’, sebagai salah satu cagar budaya milik Bank Indonesia (BI).
Sedangkan, hanya De Javasche Bank Batavia yang diresmikan sebagai museum, saat ini disebut sebagai Museum Bank Indonesia (BI) di Jakarta.
Basement yang Unik
“Belanda menciptakan AC itu dari bawah tanah. Sistemnya seperti
kendi. Kendi kalau diisi air pada sore hari, lalu diminum pada pagi harinya
akan dingin. Nah, dibawah lantai baja ini, diisi air supaya pada siang harinya
dingin secara alami dari bawah tanah,” kata Risky Jayanto selaku tour guide eks De Javasche Bank.
Risky mengungkapkan, salah satu keunikan dari ruang bawah tanah ini, terdapat AC alami. Selain itu, keunikan lain dari ruangan ini ialah CCTV pada zaman dahulu. CCTV tersebut terbuat dari kaca atau cermin yang terdapat di setiap sudut lorong. Fungsinya ialah untuk melindungi brankas uang.
Saat melewati lorong, pengunjung akan melihat brankas merk ‘LIPS’ berwarna hijau dilengkapi lubang kunci
dan sandi usus. “Ini brankas belum pernah dibuka sama sekali, karena tidak ada
yang tahu kode sandinya seperti apa. Sehingga kita tidak tahu apa isinya,” ujar
Risky.
Menurutnya, brankas dengan lebar sekitar setengah meter tersebut memang terlihat sedikit berdebu dan tertutup rapat.
“Sebenarnya bisa saja kita membuka paksa brankas ini, tapi cagar budaya tidak boleh dirusak. Nanti nilai sejarahnya hilang,” terangnya.
Khazanah di Lantai Basement
Masih di lantai basement, bangunan dengan usia 108 tahun ini menyimpan khazanah budaya bangsa. Khazanah sendiri berarti kekayaan atau harta benda, yang menjadi nilai sejarah gedung eks De Javasche Bank ini.
Pertama adalah ruang koleksi uang kertas kuno. Uang – uang kuno tersebut terlihat disusun dengan rapi dibalik etalase kaca. Kemudian ruang koleksi kedua yaitu emas batangan.
Dulunya, Belanda menyimpan sekitar 60 ton emas batangan di gedung eks De Javasche Bank ini. Namun, beberapa emas batangan yang terpampang di display etalase kaca tersebut hanyalah replika.
“Kalau asli pasti kita sudah dirampok. Satu batangnya saja seharga Rp 6,3 milyar,” kata Risky.
Selain emas batangan, hasil konservasi bangunan seperti genteng, maupun keramik dengan campuran tanah liat juga terlihat dipamerkan.
Sedangkan untuk ruangan koleksi pusaka budaya, terlihat kursi santai yang dulunya milik direktur De Javasche Bank begitu mencolok diantara mesin – mesin perbankan.
Mesin – mesin milik Bank Indonesia tersebut, terlihat disebar di beberapa titik di lantai basement. Mengingat ukurannya yang cukup besar, sehingga tidak cukup jika dikumpulkan di dalam satu ruangan.
Potret
Estetika di Ruangan Utama
Berbeda dengan basement, ruangan utama dalam bangunan ini terlihat sangat lapang. Arsitektur interior bercat putih dengan ambience era kolonial Belanda, menciptakan potret yang estetik.
Pilar – pilar putih di dalam ruangan, atap kaca ber-ornamen, serta jendela – jendela kaca raksasa dengan jeruji besi yang meloloskan sedikit sinar matahari masuk ke dalam ruangan mengesankan megah pada ruangan utama.
Sedangkan di ujung sebelah kiri ruangan, terdapat sederet bangku kayu berwarna cokelat, serta beberapa bilik kayu yang dulunya merupakan tempat proses transaksi para nasabah De Javasche Bank.
Miniatur De Javasche Bank juga terlihat dipamerkan di ruangan ini. Bagian inilah yang menjadi favorit bagi para pengunjung dengan orientasi ingin berfoto, berharap mendapatkan foto – foto yang estetik.
Selain itu, ruangan utama sampai saat ini biasa digunakan untuk pameran seni, acara – acara pendidikan, serta penukaran uang saat menjelang lebaran.
Sedangkan untuk lantai tiga yang hanya berisi rak – rak bekas penyimpanan arsip dan dokumen penting, tidak dapat dikunjungi karena suhu ruangan yang panas.