BicaraIndonesia.id, Jakarta – Potensi sumber daya alam nikel di Indonesia cukup besar. Bahkan pada akhir tahun 2023 termasuk yang terbesar yakni 40-45 persen dari total cadangan nikel dunia.
Demikian diungkapkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) RI, Bahlil Lahadalia pada pembukaan Indonesia Mining Summit di Jakarta, Rabu 4 Desember 2024.
Bahlil menuturkan bahwa pada tahun 2022, data Badan Geologi Amerika mencantumkan total cadangan nikel Indonesia 22-23 persen yang ada di dunia.
“Tapi sejak 2023 akhir, data Badan Geologi Amerika mengatakan bahwa 40-45 persen total cadangan nikel di dunia itu ada di Indonesia, salah satu negara peringkat yang mempunyai cadangan nikel terbesar di dunia,” ujar Bahlil dalam siaran persnya di Jakarta, dikutip pada Kamis 5 Desember 2024.
Demikian pula dengan timah, batubara, bauksit, dan pasir kuarsa. Menurut Bahlil, pasir kuarsa saat ini menjadi komoditas penting, karena sebagai bahan baku solar panel.
Adapun posisi potensi mineral dan batubara Indonesia, untuk nikel nomor 1 di dunia (42% dari cadangan global), bauksit nomor 4 dunia (9,8%), tembaga nomor 9 dunia (2%), emas nomor 4 dunia (5,8%), timah nomor 1 dunia (34,47%) dan batubara nomor 6 dunia (3%).
Bahlil mengatakan bahwa para pelaku usaha, juga sudah mempertimbangkan kondisi energi fosil ke depan seiring perkembangan energi dan industri hijau di dunia. Apalagi Indonesia ikut berkomitmen dalam menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK).
Meski begitu, pemerintah meyakini selama teknologi masih belum terjangkau, perlu adanya penyesuaian dengan kondisi ekonomi dalam negeri.
Selain itu, Bahlil menyampaikan bahwa batubara masih merupakan salah satu sumber energi yang murah dan kompetitif. Terlebih lagi apabila produksi, penerimaan negara dan pertumbuhan ekonomi daerah bagus, batubara akan tetap menjadi andalan sumber energi, di samping upaya peningkatan pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT).
Bahlil juga mendorong industri smelter untuk melakukan pencampuran bahan bakar, yakni dengan gas dan sebagian lainnya menggunakan batubara.
“Tapi produk kita di global harganya akan beda. Kalau kita memakai EBT 100 persen harga jualnya dengan energi fosil atau batubara akan berbeda, pasti EBT punya akan lebih mahal. Itu tergantung Bapak Ibu semua. Saya berpendapat bahwa hilirisasi ini harus menjadi bagian yang kita lakukan hari ini,” tukasnya.
Untuk mencapai kedaulatan energi, Bahlil menyebut bahwa tidak dapat hanya berharap dari energi fosil. Tetapi harus dilakukan pencampuran bahan bakar, yakni salah satunya dengan mendorong mandatori biodiesel.
Pada 1 Januari 2025, pemerintah akan mendorong mandatori biodiesel 40 persen atau B40. Kemudian meningkat menjadi B50 untuk mengurangi impor solar.
“Salah satu blending kita adalah terkait dengan biodiesel. Kita hari ini di B40, di 1 Januari kita mulai akan dorong untuk mandatori. Selanjutnya, kita akan dorong B50. Kalau B50 maka kita tidak akan lagi impor solar,” kata dia.
“Arahan Presiden Prabowo, begitu lifting kita belum mencapai untuk memenuhi konsumsi dalam negeri, mau tidak mau kita harus dorong kepada B100. Baik solar maupun bensin,” imbuh Bahlil. (*/Pr/A1)