Bicaraindonesia.id – Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam) melalui Kedeputian Bidang Koordinasi Hukum dan HAM, terus memperkuat sinkronisasi pelaksanaan rencana aksi dalam mengantisipasi terorisme di Jawa Timur.
Upaya ini dilakukan sebagai langkah pencegahan dan penanggulangan tindakan ekstremisme berbasis kekerasan di wilayah tersebut.
Dalam forum diskusi yang digelar di Jawa Timur pada Rabu 22 Mei 2024, Asisten Deputi Koordinasi HAM Kemenko Polhukam Brigjen TNI Rudy Syamsir menyampaikan, bahwa forum ini bertujuan untuk membahas dan merumuskan strategi pengembangan wadah pelaporan tindakan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di Perguruan Tinggi pada wilayah rentan.
Wadah ini nantinya akan terintegrasi dengan mekanisme pelindungan saksi, korban dan pelapor di Provinsi Jawa Timur.
“Pembahasan ini relevan dan krusial mengingat Perguruan Tinggi merupakan tempat generasi muda yang berpotensi besar untuk membangun bangsa, namun juga rentan terpapar dari ideologi radikal,” kata Brigjen TNI Rudy, seperti dikutip dalam siaran tertulisnya, Jumat 24 Mei 2024.
Forum diskusi ini juga menghadirkan sejumlah narasumber dari berbagai instansi terkait. Di antaranya, Kasubdit Perlindungan Apgakum BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) Suroyo yang sekaligus Koordinator Pokja Pilar 2.
Selain itu, hadir pula Kepala Biro Hukum LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) Sriyana, serta Dosen Universitas Airlangga (Unair) Amira Paripurna.
Dalam paparannya, Suroyo menekankan pentingnya peran lingkungan kampus dalam pembuatan dan pengembangan wadah pelaporan tindakan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme. Ini sejalan dengan Fokus 3 Pokja Pilar 2 dalam rencana aksi pencegahan terorisme.
“Harus dilakukan oleh lingkungan kampus sebagai wujud aksi pembuatan dan pengembangan wadah pelaporan tindakan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di kampus pada wilayah rentan yang terintegrasi dengan mekanisme pelindungan saksi, korban dan pelapor,” kata Suroyo.
Sementara itu, Sriyana menyoroti peran penting perlindungan saksi dan korban dalam upaya pencegahan terorisme. Ia mengemukakan bahwa mayoritas kalangan perguruan tinggi menginginkan pergeseran paradigma dari Offender Oriented ke Victim Oriented. Hal ini perlu dipelajari bersama sebagai solusi atas kebutuhan yang mendesak.
“Dunia pendidikan menghadapi tantangan 3 dosa besar yaitu bullying, intoleransi dan kekerasan seksual. Semua korban dijamin haknya untuk mengungkapkan peristiwa sehingga LPSK hadir dalam memberikan perlindungan yang berfokus kepada saksi, korban, pelapor, ahli, dan pelaku yang bekerja sama,” paparnya.
Di waktu yang sama, Amira Paripurna pun mengingatkan pentingnya memperhatikan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam upaya pencegahan dan penanggulangan terorisme.
“Sehingga dalam melaksanakan mekanisme asesmen kebutuhan perlu memperhatikan kebebasan sipil bagi dosen dan mahasiswa dalam membentuk wadah di perguruan tinggi guna meminimalisir kekhawatiran adanya ekses-ekses negatif di kemudian hari,” jelasnya. ***
Editorial: A1
Source: Polhukam