Bicaraindonesia.id – Hingga saat ini, sampah plastik masih menjadi masalah lingkungan dan mendominasi jenis sampah di Indonesia. Sifat plastik yang sulit terurai secara alami, ditambah dengan bahan kimia yang terkandung di dalamnya, membuat pengelolaan sampah menjadi tantangan.
Namun, jika sampai plastik itu tidak dikelola dengan baik, hal itu juga dapat mencemari ekosistem perairan darat seperti sungai, wara, hingga air tanah.
Pernyataan ini disampaikan Fauzan Ali, Kepala Pusat Penelitian Limnologi LIPI dalam acara Webinar Nasional Mikroplastik di Ekosistem Perairan Darat: Teknik Identifikasi dan Tantangan Pengelolaan, pada Rabu (23/9/2020).
“Butuh puluhan, bahkan ratusan tahun, agar sampah plastik dapat terdegradrasi. Bila plastik dibakar akan mengeluarkan racun, bila dibiarkan di alam akan menjadi pecahan-pecahan plastik yang disebut mikroplastik. Hal ini akan merusak lingkungan dan berbahaya bagi kesehatan hewan, tumbuhan, maupun manusia,” kata Fauzan.
Fauzan menilai bahwa kebijakan-kebijakan yang dibuat untuk mengurangi penggunaan plastik belum cukup. Upaya tersebut perlu diimbangi dengan dorongan untuk mengubah kebiasaan konsumen dalam mengelola sampah plastik. Sehingga diharapkan dapat terbentuk model sirkular dimana sampah plastik dapat kembali menjadi plastik siap guna.
Sementara itu, Peneliti Puslit Oseanografi LIPI, Dede Falahudin menjelaskan, terdapat dua sumber mikroplastik, yaitu primary microplastic dan secondary microplastic. Primary microplastic adalah plastik yang dibuat dalam ukuran mikron untuk tujuan komersil, seperti kosmetik dan serat baju.
“Sumber mikroplastik sudah banyak ditemukan di benda sehari-hari seperti lulur mandi, pasta gigi, dan sabun cuci muka. Mikroplastik juga terdapat pada serat-serat kain yang kita pakai sehari-hari, kecuali jika seratus persen katun,” kata Dede.
Sedangkan secondary microplastic, lanjut dia, merupakan hasil degradasi dari plastik-plastik yang berukuran lebih besar, seperti botol air mineral atau kantung belanja.
“Contohnya jika kita belanja ke supermarket menggunakan plastik yang biodegradable, proses degradasi plastik ini akan menyisakan hal yang lebih berbahaya karena akan tergradasi menjadi partikel-partikel kecil yang dinamakan mikroplastik yang dapat mencemari lingkungan,” papar Dede.
Dalam kesempatan yang sama, Perekayasa Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Haerul Hidayaturrahman menyarankan perlu adanya standar metodologi pengambilan sampel hingga analisa mikroplastik untuk mengidentifikasi mikroplastik dalam sebuah produk. Analisa ini nantinya dapat digunakan dalam pengambilan kebijakan.
“Pemerintah bisa mengeluarkan kebijakan tidak menggunakan mikroplastik dalam produk tertentu dan dapat menerapkan baku mutu plastik yang keluar dari Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL),” kata dia. (Humas Lipi)